TIGA PULUH DUA

2K 63 4
                                    

"Eh, mau kemana lo?" tanya Angga pada Amel.

Amel yang baru saja menuruni anak tangga terkejut kaget melihat kakaknya tengah bersantai diruang tengah.

"Mau ke cafe." balas Amel jujur.

"Sama siapa?" tanya Angga mengintimidasi.

"Sendiri."

"Lah kok nggak ngajak Carga?"

"Y-ya gue mau belajar. Nih," Amel menunjukkan tas jinjing yang berisi beberapa buku. Amel membalas berbohong.

"Oh. Nggak butuh mentor belajar gitu?"

Amel menggeleng. "Udah ya, wawancaranya selesai. Gue mau kesana. Bye!"

"Mau gue anter nggak?" tawar Angga. Amel berbalik seraya menimbang-nimbang.

"Ah kelamaan, ayo!" Entah sejak kapan, Angga sudah berada dihadapan Amel.

"Ke cafe mana?" tanya Angga saat menutup pintu utama rumahnya.

"Cafe Merdeka. Tau kan?" kata Amel. Angga mengangguk seraya ber-oh.

Angga menyiapkan motornya lalu mereka pergi meninggalkan kediaman mereka menuju Cafe Merdeka.

***

Amel bergerak gelisah didalam cafe. Ia sengaja datang pukul setengah tiga. Jam akan menunjukkan pukul tiga lima menit lagi, entah mengapa perasaanya jadi tidak enak.

Ia memutuskan untuk memainkan ponselnya dan mengusir pikiran-pikiran yang tidak-tidak.

Sreek!

Amel merasakan sebuah kursi didorong pelan lalu seseorang menduduki kursi itu. Amel mendonggak.

"Hai." sapa orang itu.

Amel mengernyitkan keningnya bingung. "Siapa ya? Pernah ketemu sebelumnya?" tanya Amel.

Orang itu terkekeh. "Nama gue Lia. Lo tau nggak?"

Deg.

"L-lia?" Lia mengangguk.

"WHAT THE---"

"Sttt. Jangan berisik, atuh." potong Lia.

Amel melototkan matanya tanpa menghiraukan perkataan Lia. Ia mengingat bahwa Lia sudah meninggal dan mengapa perempuan itu ada dihadapannya? Dan bagaimana perempuan itu bisa mendapatkan nomornya.

Amel memijit pelipisnya. Sungguh, ia ingin menanyakan banyak hal. Tapi ia sadar diri, bahwa ia bukan siapa-siapa Lia. Kenal saja baru tadi, dekat juga tidak.

"Gue sebenernya nggak meninggal." kata Lia tiba-tiba. Amel menghentikan kegiatan memijat pelipisnya lalu menatap Lia bingung.

"Gue jatuh. Untung dibawah ada semak-semak gitu, jadi nggak terlalu berbahaya. Setengah sadar, gue langsung lari dan pergi ke luar negeri." sambungnya lirih.

"Gue depresi. Gue rela ngeluarin banyak uang demi psikis gue kembali lagi."

Lia mulai menangis. Amel yang tidak tega langsung menghampiri Lia dan menepuk-nepuk punggung perempuan itu pelan.

"Hingga akhirnya gue kembali kesini setelah lima tahun menghilang. Semuanya pasti ngira gue udah tenang diatas sana. Tapi nyatanya, enggak."

"Gue menghilangkan diri dari sekolah karena gue malu. Gue malu udah nggak perawan. Cukup dia yang udah renggut harta berharga gue aja gue udah depresi, gimana kalo gue dibully?"

Amel ikut meneteskan air matanya. Ia paham bagaimana rasanya seperti Lia karena ia juga wanita.

"Sebenernya, muka asli gue nggak kayak gini. Gue oplas lho." kata Lia seraya terkekeh lirih.

CARAMEL [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang