MPL-2

45.6K 2.7K 146
                                    

Marahari menyinari bumi dengan cahaya panasnya. Menusuk kulit seorang cowok yang beru saja pulang dari sekolah, setelah menyelesaikan ujiannya. Ia melaju dengan cepat menggunakan motornya menuju mansion, menembus hutan yang lebat.

Sebelum sampai di tempat tujuan. ia terpaksa memberhentikan motornya. Kini ia dihadang oleh segrombolan pria sekitar 5-7 orang.

"Rogue," guman cowok tersebut. Tak lupa dengan senyum picknya.

"Lama tidak berjumpa Devanio" ucap salah satu dari mereka yang paling depan.

Tanpa aba-aba mereka langsung saling menyerang. Devan yang saat ini sendirian dan telah berganti shift telah dikepung oleh 7 rogue. Tak berbeda dengan Devan, semua rogue tersebut juga ikut berganti shift menjadi serigala.

Eright kini telah mengambil alih. Serigala hitam pekat, dengan bola mata merah maron, dan tubuh yang tiga kali lipat lebih besar dari serigala lainnya. Mengingat ia adalah calon alpha.

Devan yang sedang dikepung langsung menyerang mereka dengan ganas. Ia membabi buta rogue-rogue tersebut. Meluapkan rasa kekesalannya karena frustasi menjawab soal ujian yang sangat membingungkan.

Tubuh rogue-rogue tersebut terpental jauh dan ada pula yang tulang-tulangnya patah, remuk menghantam pohon-pohon yang usianya sudah puluhan tahun. Sedangkan Devan, ia hanya mendapatkan luka-luka kecil saja.

Setelah puas meluapkan kekesalannya Devanio langsung menuju rumahnya yang tidak jauh lagi. Ia langsung mengegas motornya dengan kecepatan tinggi.

Tanpa pergi ke kamar, Devan langsung beranjak keruang makan untuk makan siang. Di sana ia menemukan Clara, Dave dan adik perempuannya, Derin. Tampa pikir panjang ia bergabung untuk makan.

"Siang, Mam, Yah!" Devan menjatuhkan tubuhnya di kursinya.

"Siang sayang! Kamu habis ngapain sampai-sampai baju seragammu kotor seperti itu?" Tanya Clara, ibu Devan, penasaran.

"Memberi pelajaran kapada rogue yang menyusup pack, Ma," jawab Devan datar dan tenang tanpa menghentikan aktivitas makannya.

"Astaga, kamu tidak apa-apa kan?" Dalam seketika wajah Clara langsung berubah menjadi cemas.

"Tidak, Ma. Aku tidak apa-apa." Devan beruntung karena dia seorang werewolf, jadi luka-luka itu bisa sembuh dengan sendirinya.

"Ma, Yah, aku nanti pergi les lagi. Les terakhir sebelum lulus," p
pamit Devan meminta izin.

"Memang jam berapa?"

"Jam 15.30 aku berangkat."

"Baiklah, tapi kamu harus diantar oleh Bily atau beberapa warior. Mama tidak mau kamu bertarung lagi dengan rogue-rogue manapun. Dan Dave, kamu harus memperketat penjagaan di daerah perbatasan," titah Clara tegas dengan kekuasaan Luna-nya.

"Aku tau itu sayang. Tapi kalau masalah Devan, ia harus membiasakan diri bertarung bukan? Bagaimana nanti jika ia berada di medan perang?" balas Dave menjelaskan.

"Apa yang kau bicarakan? Apa kau ingin pack kita berperang?" Clara menatap Dave tajam.

"Oke aku akan menyuruh Bily agar menambah jumlah penjaga di perbatasan dan memperketatnya." Dave memilih mengalah dengan Clara. Toh tidak ada ruginya. Devan juga tau apa tugasnya kelak.

Devanio POV

Selasai makan siang aku bergesas mandi dan memilih pakaian yang berada di lemari. Kaus hitam, yang kututupi hem putih lengan pendek tanpa kukancingkan, dan celana jens hitam, serta sepatu putih polos menjadi pilihanku saat ini.

Sembari menunggu waktu, aku mengambil ponselku dan membuka game online. Saat ini jari-jariku sedang asik memainkannya.

"Tuan Devan. Apakah tuan tidak pergi bimbel?" tanya Bily yang tidak aku sadari keberadaannya.

"Oh.. iya Bil, aku lupa. Aku akan berangkat sekarang." Segera aku langsung beranjak mengambil tas yang berada di meja belajar.

"Tuan, mobil sudah saya siapkan di depan." Aku hanya menganggukkan kepala, menjawab pertanyaan Bily.

Sesampainya di depan pintu masion aku telah disambut oleh mobil BMW keluaran terbaru berwarna putih. Salah satu warior langsung membukakkan pintu mobil penumpang setelah memberi hormat. Lalu Ia pun langsung masuk ke kursi pengemudi.

"Kau sudah tau kan kita akan kemana?" Tanyaku datar dengan nada serius.

"Iya tuan, saya sudah tau kita akan kemana," jawab warior itu sopan. Ia langsung melajukan mobil yang ia bawa ke luar hutan.

Aurora POV

Les jam pertama akhirnya selesai. Aku dan yang lainnya di persilahkan untuk istirahat sebelum jam kedua dimulai.

"Rara, lo mau ke kantin nggak?" Tiba-tiba Sila bertanya kepadaku.

"Boleh."

"Oke. Siapa yang terakhir sampai sana dialah yang mentraktir." Kami langsung berlari setelah mendengar teriakan Tika.

Karena tempat yang kutempati paling dekat dengan pintu keluar ruangan, maka akulah yang sekarang memimpin.

Aku terus berlari. Sesekalai menoleh kebelakang. Sampai-sampai tidak memperhatikan apa yang ada di hadapanku.

Bruk..

"Auu..." lirihku memegangi dahi kananku. Aku sadar telah menabrak seseorang. Dahi kananku dibuat sakit karenanya.

Kuberanikan diriku menatap orang yang aku tabrak. Perlahan aku mengangkat kepalaku.

"Ma.. maaf... aku tadi enggak sengaja," ucapku sedikit gugup.

Jika kalian berfikir aku tidak menatapnya, kalian salah. Aku menatap matanya yang tajam bak seekor elang itu. Dengan ekspresinya yang datar di tambah dengan sorot matanya itu, membuat siapapun yang melihatnya menelan ludah.

Aku mengingatnya. Yha, dia tidak lain dan tidak bukan adalah cowok yang menarik perhatianku beberapa hari yang lalu. Cowok yang cuek dengan wajahnya yang datar.

Tanpa sepatah katapun ia langsung berjalan begitu saja melewatiku. Aku yang berusaha mencerna keadaan itu hanya dapat menghembuskan napas berat.

Yha sudah lah. Toh aku juga sudah meminta maaf. Jadi aku sudah tidak ada urusan dengannya. Lagipula ini hari terakhirku les disini. Mungkin.

"Ra, lo nggak papa?" Tania dan Sila akhirnya datang.

"Enggak. Gue nggak papa kok."

*****

5 Tahun Kemudian

Aurora POV

Aku berdiri menjauh dari tempat kejadian yang membuat hatiku hancur. Menjauh dari semua orang yang membuatku menangis. Air mataku tak dapat lagi kubendung, sehingga aku berlari sembari menangis.

"Ra berhenti! Gue bisa jelasin semuanya." Pria yang sedari tadi memanggil-manggil namaku memegang tanganku sangak erat, mencegahku untuk lari lagi darinya.

"Jelasin apa, hem?" ucapku menahan air yang terus keluar. "Semuanya udah jelas, Ren." Tangisku semakin deras saat mencoba menjawabnya.

"Ra, tolong lo dengerin gue dulu." Tangan kanan pria itu memegang pipiku dan menghapus air mataku dengan ibu jarinya.

"Sebenarnya... cewek itu.." Ia menutup matanya, mencoba menenangkan diri.

"Cewek itu siapa?" Tanyaku dengan meninggihkan volume suaraku.

"Cewek itu adalah..."

"MATEKU."

.

.

.

.

Maaf jika typo...
Jangan lupa vote dan komennya...
Terus ikuti ceritanya...

TERIMA KASIH
🙏🙏🙏😊😊😊

My Perfect Luna (COMPLETE)  Where stories live. Discover now