MPL-8

31.5K 1.9K 33
                                    

Aku melihatnya. Mataku tak ingin lepas menatapnya. Ia terlihat sangat cantik malam ini. Dengan dres biru berlengan panjang sampai siku dan menutupi pahanya sampai atas lututnya. Ia berjalan menurunin tangga dengan anggun dan di sebelahnya ada Derin yang menemaninya.

"Luna." Sesampainya di depan mama, Mateku membunggukkan badannya, memberikan hormat.

"Ett- itu dulu. Sekarang, kau lah Lunanya. Dan panggil aku Mama, kamu mengerti sayang?" Mateku mengangguk, pertanda mengerti.

"Cantik sekali," Mama mengangkat dagu Mateku hungga mata mereka bertemu.

"Terima kasih ma," mereka saling melemparkan senyuman dan kemudian berpelukan.

"Oh iya, Devan. Siapa nama Matemu ini?" Mereka melepaskan pelukannya dan berbalik menatapku.

Aku terdiam. Tak tau harus menjawab apa. Jujur aku belum bertanya namanya. Mengapa amu melupakan hal sekecil itu? Dan saat ini mereka semua menatapku heran. Sedangkan aku hanya dapat memasang wajah datarku untuk menutupi rasa malu.

"Mama! Mengapa Mama bertanya kepada kak Devan? Percuma saja Mama bertanya kepadanya, ia tidak akan menjawab. Memangnya kakak tau nama Matenya?" ucap Derin menantang. Beruntung ia Adikku, jika tidak entah apa yang akan aku lakukan.

"Devan, kamu tidak mengetahui nama Matemu? Ceh...ceh..ceh.." Mama menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Baikhlah, kalau begitu Mama akan bertanya sendiri," ucap Mama kasal dan mengalihkan pandangannya kapada Mateku.

"Beri tau Mama siapa namamu, sayang?" tanya Mama halaus sembari memegang pipi kiri Mateku.

"Aurora, Aurora Derlich," jawabnya sedikit gugup.

"Nama yang indah." Mama menurunkan tangannya dan menoleh ke arahku. "Kau dengar itu Devan?"

"Iya, Ma," jawabku singkat.

"Ehem.. apa kita bisa makan sekarang?" Derin menyampaikan niatnya frontal. Sepertinya adikku itu sangat kelaparan.

"Iya sayang," jawab Mama sembari memeluk Derin.

"Baiklah. Sekarang ako kita makan!" Kamipun mendekati meja dan menempati kursi masing-masing.

Aurora POV

Makan pun dimulai. Kami semua makan dangan hikmat tanpa suara apapun selain pisau dan garpu di piring. Saat ini aku berusaha menjaga sikapku. Aku tidak ingin melakukan kesalahan apa pun yang dapat mempermalukanku.

"Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya Ayah di sela-sela makan yang berhasil membuatku tersedak.

"Hey- hati-hati, Amour!" dengan sigap Devan memberiku segelas air.

"Lima hari, Yah," jawab Devan tanpa beban. Sementara aku kaget setengah mati dibuatnya.

"Baguslah, lebih cepat lebih baik. Apalagi bulan purnama akan muncul dua minggu lagi. Jadi lebih bagus meresmikan hubungan kalian sebelum bulan purnama.

"Sebentar lagi Mama akan punya cucu nih," goda Mama sembari tersenyum lebar yang diikuti ileh Derin dan Ayah.

Dengan susah payah aku menelan ludahku. Aku yakin wajahku menjadi merah. Entah apa yang kurasakan sekarang. Semua bercampur, antara bingung, malu, dan ngeri, hinga aku diam mematung dengan tatapan kosong.

Sebuah tangan menggenggam tangan kiriku yang membuatku tersadar dari lamunan. Tangan tersebut tak lain adalah tangan Devan. "Mama."

"Iya sayang. Mama hanya bercanda." Mereka pun tertawadan aku hanya memberikan senyuman canggung.

My Perfect Luna (COMPLETE)  Where stories live. Discover now