Prolog

55K 2.6K 21
                                    

"Jangan bohong!"

Plak!

Tamparan di pipi kanannya membuat kepala Kinanti tertoleh ke kiri. Apa yang ia lihat menjadi berputar-putar dan titik pandangannya menjadi tidak fokus.

"Sakit." Air mata sudah tak bisa ia bendung lagi.

"Kau akan mendapatkan hal yang jauh lebih sakit dari pada ini jika kau tidak mau menuruti kata-kataku," Gilang menjambak rambut Kinanti, membawa wajah itu menatapnya. "Dengar, aku tidak mau melihatmu lagi di rumah ini. Dan segera setelah bayi itu lahir, kita akan bercerai. Bayi itu akan dibesarkan oleh keluargaku, darah haram di dalam dirimu tidak pantas membesarkan anak keturanan Baumi."

Plak!

Setelah kata terakhir itu, secepat kilat dan sekuat tenaga tamparan Kinanti berhasil mengenai pipi Gilang.

Tidak ada lagi yang boleh menghinanya. Tidak pun dengan pria yang saat ini berada di atasnya. Suami yang tak pernah ia inginkan.

Gilang mundur beberapa langkah, menatap tak percaya Kinanti sambil memegang pipinya yang cukup perih dan kini membekas telapak tangan gadis itu. Ia tidak menyangka gadis lemah itu bisa membalas tamparannya. "Sialan!"

"Bayi ini juga tidak pantas memiliki seorang ayah yang kasar dan kejam sepertimu!" Balasnya dengan suara parau akibat menangis.

"Kejam katamu?" Gilang terkekeh pelan yang terdengar mengerikan. "Akan kutunjukkan apa itu artinya kejam!" Secepat kilat, pria itu kembali mendekat saat kinanti tidak siap dan panik, Ia tidak sempat menghindar saat pria itu kembali menindih tubuh kecilnya.

Gadis itu sekuat tenaga memberontak saat kedua tangan Gilang mencekik lehernya. Mencekal jalur pernapasannya. Dadanya terasa sangat sesak. Wajah Kinanti semakin pucat saat tak ada lagi darah yang mengalir ke wajahnya. Gadis itu masih terus berusaha melepaskan cekikan tangan Gilang dari lehernya dan dengan sengaja mencakar-cakar tangan pria itu agar Gilang merasa sakit dan segera melepaskannya. Tubuhnya yang setengah berbaring di sofa dengan bagian pinggul dan kaki menjuntai ke lantai berusaha menendang-nendang kaki Gilang.

Saat napasnya semakin tercekat, hanya sampai di tenggorokan. Gadis itu tak lagi mencoba melawan. Selain tenaganya yang sudah terkuras habis, rasa sakit dan kram di perutnya tak lagi mampu ia tahan, Kinanti hanya memasrahkan hidupnya yang saat ini berada di tangan Gilang.

Ia tidak akan melawan. Ia pasrah jika harus mati di tangan pria pemerkosa dan penghancur masa depannya. Dengan begitu, ia tidak akan lagi memikirkan kegagalan atas segala impian yang sudah dimusnahkan oleh Gilang. Ia tidak akan menyesal jika harus mati karena telah mengandung janin yang tak ia inginkan.

Jika pria itu menginginkan Kinanti mati, maka Kinanti akan membawa bayinya bersamanya. Gilang tidak akan mendapatkan bayi itu seperti keinginannya.

Sayup-sayup, Kinanti seperti mendengar suara jeritan yang terdengar jauh. Lalu tiba-tiba, pria itu melepaskan cekikannya, membuat udara segera berlomba masuk melalui jalur pernapasannya. Kinanti menghirup napas dengan cepat dan rakus, tarikan napas yang terdengar kasar sampai membuatnya terbatuk-batuk dengan keras.

Tubuhnya yang melemah, membuat Kinanti jatuh secara perlahan kelantai. Ia terbaring miring dan samar-samar melihat Citra memarahi Gilang, lalu di susul suara-suara derap kaki-kaki berlari mendekat. Cinta, Iskandar dan Nami masuk saling bersusulan dengan wajah terkejut penuh ketakutan. Pandangan Kinanti mengabur. Penglihatannya semakin buram. Gadis itu seperti melihat Cinta beralih menatapnya dan melangkah mendekatinya, di saat itu juga rasa sakit yang begitu sangat diperutnya terus menghantam dan mengambil alih kesadarannya.

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang