Sembilan

17K 1.3K 37
                                    

"Dia hanya kelelahan." Cinta menyelimuti Kinanti dari kaki sampai ke perut.

Saat mendapati Kinanti yang mulai melemah dan pingsan. Ia segera meminta Gilang membawa gadis itu ke kamar Citra yang berada di lantai satu yang tak jauh dari ruang keluarga tepat di dekat anak tangga menuju ke lantai dua. Ia sempat memaksa Gilang yang terlihat enggan menyentuh Kinanti.

Darsih yang sejak tadi berdiri di dinding dekat pintu mengawasi Cinta yang membantu menyadarkan Kinanti, kini mulai melangkah mendekat. Ia duduk di tepi ranjang di samping Kinanti. Menatap sedih wajah pucat cucunya seraya memijat-mijat pelan ke dua kakinya yang di tutup dengan selimut hijau yang hangat.

Nami mendekat dan duduk di sofa santai di dekat jendela mengarah ke ranjang. Saling berhadapan. Mengikuti tatapan Darsih untuk memperhatikan wajah Kinanti yang pucat.

"Berapa usia kandungannya?" Nami bertanya pelan dengan tatapan mengarah pada perut Kinanti yang rata.

"Hitungan Bidan, sudah dua bulan lebih."

Cinta mendekat pada Ibunya. Duduk di samping wanita itu untuk ia genggam sebelah tangannya yang dingin. Ayahnya masih berada di kamar, mungkin saja tidak tahu ada kejadian Kinanti yang jatuh lemah sampai pungsan seperti ini.

Kebiasaan ayahnya jika sedang memiliki masalah besar, pria berusia lima puluh tiga tahun itu akan mendekam di dalam kamar atau ruang kerjanya seorang diri. Tidak akan ada yang berani mengganggu sampai pria itu yang terlebih dulu keluar untuk memulai berbicara dengan mereka. Jika sudah seperti itu, berarti Iskandar telah menemukan jalan keluar untuk memecahkan masalahnya.

Citra memohon diri untuk mengurus adiknya yang telah babak belur akibat mendapat beberapa kali bogeman mentah dari sang ayah. Romian jelas tak mau berada dalam ruang yang sama dengan orang-orang yang telah merusak hari santainya. Ia lebih memilih mengurus cucu lelaki semata wayang keluarga Baumi itu.

"Seperti yang dikatakan suamiku, perminta maafan kami tidak akan bisa mengembalikan keadaan seperti sebelumnya," Ia melepaskan genggaman tangan Cinta lalu meraih tangan kanan Darsih untuk ia genggam. "Tapi aku mohon sama mbak, tolong maafkan semua perbuatan puteraku. Kami berjanji akan segera menikahkan Gilang dengan Kinanti."

Hening. Lalu helaan napas Darsih menandakan betapa banyak beban pikiran yang sedang ia tanggung. Darsih menjawab tanpa menatap Nami, "Tapi Kinanti masih terlalu muda."

"Perbuatan Gilang telah menghasilkan janin yang kini telah menjadi tanggung jawab keluarga kami."

Darsih menatap Nami untuk beberapa saat, lalu kembali menatap Kinanti dan menggeleng lemah. "Saya ragu Kinanti akan menerima pernikahan itu. Kami belum memberi tahu Kinanti kalau saat ini dia sudah mengandung."

Ia menatap Nami dengan sedih. "Kata dokter, Kinanti mengalami depresi akibat perbuatan Bang Gilang, saya takut jika Kinanti tahu dia telah mengandung, dia akan kembali depresi atau bisa saja menolak bayi yang di kandungnya. Dan Dokter juga menyarankan untuk menyembunyikan kehamilan Kinanti sementara waktu, sampai dia benar-benar siap." Jelasnya.

Nami diam. Menatap Kinanti dengan prihatin. "Aku mengerti. Setelah kejadian ini, aku berharap hubungan kekeluargaan kita akan tetap seperti biasanya ya, mbak. Aku,"

"Maaf," Darsih menyela. Ia menatap Nami dengan mantap. "Saya sudah memikirkan ini, mungkin saya tidak lagi bekerja di sini."

Nami mendekat. Berlutut di hadapan Darsih yang duduk di tepi ranjang. Ia mengambil kedua tangan Darsih untuk ia genggam. "Aku mohon sama mbak, jangan seperti ini. Enam belas tahun kita dekat, aku udah nyaman sama Mbak. Bagiku, Mbak sudah seperti keluargaku sendiri. Jangan pergi Mbak, kita akan merawat dan membesarkan anak Kinanti bersama-sama." Air mata mulai menutupi penglihatannya.

KINANTIWhere stories live. Discover now