Empat Puluh Enam

22.7K 1.6K 47
                                    

Kinanti membuka matanya yang terasa berat secara perlahan. Di sambut dengan keadaan kamar yang kosong selain dirinya. Gorden-gorden besar sudah di buka, membuat cahaya terik matahari dari luar merambat masuk menerangi kamar.

Di atas Tv yang mengarah ke tempat tidur, terdapat jam digital yang di gantung di dinding, dan sudah menunjuk pukul delapan lewat dua puluh tiga menit. Segera ia bangkit dan mendudukkan tubuhnya.

Hantaman rasa pusing di kepala, membuatnya kembali memejamkan mata dan memijat kedua pelipisnya dengan jemari kedua tangannya secara perlahan.

Ia sama sekali tidak ingat, pukul berapa ia jatuh tertidur, setelah semalaman ia menangis. Sementara di ruang tamu tengah di selenggarakan acara tahlilan malam ke dua untuk almarhumah ibunya. Yang ia tahu akan di mulai pada jam delapan malam. Setelah menidurkan Kaianna di dalam boksnya. Ia kembali berbaring dan menangis memikirkan semuanya. Bahkan ia tidak tahu kapan Gilang masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.

Setelah mengusap matanya yang berat dan ia yakini sangat sembab. Kinanti turun dari ranjang dan melangkah secara perlahan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Menuruni anak tangga yang mengarah ke ruang keluarga setelah ia meyakini penampilannya sudah lebih segar dari sebelumnya, ia di sambut kesunyian yang terasa aneh.

Hari ini tanggal merah. Dan seharusnya jam segini ia sudah menemukan kedua kakak iparnya tengah duduk santai di sofa dan menikmati siaran televisi seperti biasanya.

Berjalan ke dapur, ia juga tidak menemukan siapapun. Namun suara-suara yang berasal dari halaman belakang membuatnya segera melangkah ke pintu dapur.

"Mami bisa tidak, mengecilkan sedikit suara Mami? Istriku sedang istirahat di kamar setelah dia menangis semalaman. Apa Mami tidak bisa sedikit menghargai kami. Kami sedang berduka. Tolong jangan buat keributan di sini."

Suara Gilang menyambut indra pendengarannya. Membuatnya terpaksa menghentikan langkah di balik dinding dapur tak jauh dari pintu. Ia sama sekali tidak tahu kalau Gilang mengetahui bahwa ia menangis semalaman.

Romian berdecak tidak senang melihat cucu kesayangannya melotot marah dengan raut tidak senang di wajahnya. "Rumah ini bukan rumah duka! Kenapa kalian membawa mayat wanita itu ke rumah ini? Wanita itu memiliki rumah di kampung ibunya. Kenapa tidak di sana saja mayatnya di bawa?"

Gilang menghela napas lelah. "Jika Mami lupa, aku dengan senang hati mengingatkan kalau Kinanti adalah istriku. Ibu Ambar dan Nek Darsih adalah keluargaku. Lagi pula, Papa yang meminta agar mayat Bu Ambar di bawa ke rumah ini. Karena mau bagaimanapun Mami menyangkalnya, mereka sudah menjadi bagian dari keluarga kita."

Romian berdecak dan menggeleng pelan. "Dengan kalian membawa mayat itu ke rumah ini, sama saja kalian siap menyambut ke sialan yang akan menimpa rumah ini." Kedua telunjuknya menunjuk-nunjuk lantai di bawah kakinya.

Sementara Kinanti menutup mulutnya tak menyangka akan mendengar kalimat Romian. Kalimat yang selalu membuat jantungnya mencelos sakit dan berdenyut nyeri, berusaha kuat ia menahan air matanya.

Romian tersenyum sinis dengan mata yang berpaling ke sana dan ke mari. Mencari sosok perempuan yang begitu ia benci. Fokusnya segera terkunci pada satu sosok yang baru melangkah keluar dari pintu dapur. Berjalan perlahan dengan wajah menunduk lelah dengan raut sedih yang masih membayang di matanya.

"Bukankah sudah pernah aku katakan, wanita itu selalu membawa sial di manapun dia berada. Bahkan ibunya saja terkena sial karena bertemu lagi dengannya."

Gilang melotot marah mendengar ucapan neneknya. Sama sekali tidak menyadari sosok Kinanti yang berdiri jauh di belakangnya, di teras dapur. Terpaku mendengar kalimat Romian yang sengaja di keraskan.

KINANTIWhere stories live. Discover now