Tiga Puluh Empat

23.1K 1.9K 45
                                    

Di luar sana langit sudah gelap. Hujan masih deras mengguyur bumi. Padahal saat ini jam sudah menunjuk pukul delapan malam. Sudah lebih dari lima jam, namun sepertinya langit masih belum cukup puas menumpahkan airnya.

Gilang mengerutkan dahi saat melihat kursi panjang di ruang tunggu di depan ruang inap Kinanti terlihat kosong padahal saat ia tinggalkan tadi ada Nami, Citra beserta Darsih masih ada di sana. Menanti Kinanti yang sedang di persiapkan oleh Suster dan Dokter.

Setelah sampai di rumah sakit sore tadi, dan menjalani beberapa pemeriksaan. Akhirnya Cinta memutuskan Kinanti harus melahirkan malam itu juga. Walau sempat mengalami pendarahan, nyatanya kondisi Kinanti dan bayi dalam keadaan normal dan baik-baik saja. Untuk mengambil jalan pintas, tanpa mau melihat Kinanti kesakitan, Cinta memutuskan Kinanti akan melahirkan melalui proses operasi caesar.

Gilang melangkah beriringan bersama Iskandar memasuki ruangan inap Kinanti, setelah mereka menjalankan Sholat isya' berjamaah di Mushollah rumah sakit.

Di dalam ruangan, ternyata Darsih, Nami dan kakaknya sudah berada di sana. Dengan Kinanti yang tengah berbaring miring dengan punggungnya yang terus di usap oleh Darsih. Sebelah tangannya sudah tertanam jarum infus. Namun saat ini, istrinya itu masih diharuskan berpuasa sebelum menjalankan operasi caesar pada pukul sepuluh malam nanti.

Gilang mendekat. Berdiri di samping ranjang Kinanti, di hadapannya. Mata Kinanti tertutup rapat. Tapi bibirnya masih terus berdesis dan merintih kesakitan.

Pria itu menunduk. Mendekatkan bibirnya ke dahi Kinanti, lalu menyenandungkan shalawat Nabi seperti yang sudah di ajarkan oleh ayahnya tadi saat di Mushollah. Memohon pada sang Kuasa agar memperlancar proses persalinan bayinya. Lalu mengecup lama dahi istrinya itu.

"Sakit.." rintihan lirih itu membuat Gilang segera menjauhkan wajahnya. Menatap Kinanti yang juga sedang menatapnya.

"Iya, sayang.. tahan sebentar ya?" Bujuknya sambil mengusap rambut Kinanti dengan sayang.

Bujukan lembut itu mengalun dan masuk ke telinga siapapun yang ada diruangan itu. Tak terkecuali Darsih yang duduk di balik punggung Cucunya.

Awalnya ia tidak percaya melihat perubahan Gilang yang mulai menerima Kinanti sebagai istri. Itu terasa seperti tiba-tiba, setelah apa yang di lakukan Gilang terhadap cucunya dengan hampir menghilangkan nyawanya. Ia masih belum percaya. Tapi semakin ke sini, ia tahu bahwa perubahan itu merupakan perubahan yang murni berasal dari hati pria itu. Melihat keinginan Gilang yang begitu sangat dan menanti kelahiran bayi mereka, membuat Darsih menghela napas lega. Ia merasa tenang bahwa Kinanti tidak akan merasa sendiri dalam mengurus bayinya nanti.

"Nek, lelah ya? Sini biar saya saja." Sebelah tangan Gilang sudah menggantikan tangan Darsih yang entah sejak kapan berhenti mengusap-usap panggul belakang Kinanti.

Darsih tak membantah. Perlahan ia menyingkirkan tangannya. Membiarkan seseorang yang pernah ia sumpah tidak akan memberikan kepercayaan lagi terhadap cucunya, kini ia biarkan dengan sepenuh hati untuk menyentuh tubuh cucunya.

Waktu terasa berlalu begitu lambat. Dengan ringisan dan rintihan Kinanti yang semakin sering. Gilang begitu sabar menjalani semua prosesnya. Pria itu masih terus duduk di tepi brankar dengan sebelah tangan mengusap pinggul belakang Kinanti. Dan sebelah lagi menggenggam tangan yang bebas dari jarum infus. Membiarkan Kinanti meremas tangannya hingga menancapkan kuku-kukunya yang mulai panjang.

Sampai tiba waktunya seorang Suster masuk dengan membawa satu kursi roda. Memberitahu bahwa sudah saatnya Kinanti bersiap.

Gilang membopong tubuh istrinya dan mendudukkannya ke kursi roda. Mengikuti Suster itu dengan mendorong kursi rodanya perlahan memasuki lift khusus Dokter, Suster dan pasien. Sementara keluarganya mengikuti mereka melalui lift lain.

KINANTIWhere stories live. Discover now