Tiga Puluh Lima

23.9K 1.7K 56
                                    

Gilang berdiri di sana. Di balik dinding kaca bening yang menampilkan bayi-bayi yang berada di keranjangnya masing-masing, yang terbungkus kain bedong hangat. Namun fokus Gilang hanya tertuju pada satu bayi merah yang berada di dalam tabung Inkubator. Terlihat tertidur lelap dengan dada yang bergerak teratur. Hanya berbalut pampers dengan sebelah tangan mungilnya terpasang gelang berwarna merah muda penanda nama ibunya.

Bayi itu puterinya. Miliknya bersama Kinanti, yang menolak kehadiran bayi merah itu. Yang lahir pada pukul sepuluh lewat empat puluh sembilan menit, malam hari. Dengan berat badan dua koma enam kilogram dan panjang tubuh mencapai emat puluh sembilan sentimeter. Terlahir dalam kondisi fisik sempurna walau sempat terjadi sesuatu yang membuat kepanikan.

Gilang tidak tahu kenapa Kinanti menolak melihat bayinya. Bahkan saat bayi itu bersiap akan di masukkan ke dalam tabung Inkubator dan akan di bawa pergi ke ruang bayi, saat Cinta meminta Kinanti untuk melihat wajah puterinya sebentar dan memberikan ciuman sejenak untuk puterinya. Istrinya itu tidak menoleh sedikitpun. Tidak merespon apapun yang di minta Cinta untuk bayi mereka.

Gilang menyetujui usulan kakaknya saat memutuskan bayi itu berada di dalam tabung Inkubator agar suhu tubuhnya tetap stabil dan tetap hangat. Ia tidak memprotes sama sekali. Karena ia tahu semua ini demi kebaikan bayinya, puterinya.

Sementara di lain tempat, Iskandar, Nami dan Darsih juga Citra berdiri di hadapan Cinta saat gadis itu memasuki ruang inap Kinanti seorang diri. Mereka mendengar semua yang terjadi di dalam ruang operasi itu terlihat tak percaya. Bahkan Darsih terlihat begitu terpukul mendengar semua penuturan Cinta. Semua Cinta sampaikan dengan sebaik mungkin, tidak ada yang kurang atau ia lebih-lebihkan. Sebelum Kinanti di antar masuk ke dalam ruang inapnya.

* * *

Kinanti baru saja menyelesaikan sarapan pagi, setelah ia membersihkan diri dan berganti pakaian di dalam kamar mandi. Jarum infus sudah di lepas dari tangannya.

Tak lama pintu ruangannya terbuka, Nami dan Cinta masuk dan melempar senyum padanya. Nami dan Cinta sudah terlihat segar. Bahkan Cinta sudah memakai jas kebesarannya. Yang seharusnya jadwal Cinta bekerja di mulai pada pukul sembilan pagi nanti. Kinanti tidak tahu kenapa Cinta datang sepagi ini, bahkan saat jam masih menunjuk pukul enam lewat dua puluh menit.

Tadi malam, di dalam ruang inapnya. Kinanti hanya di temani Gilang dan Darsih. Gilang mempersilahkan Darsih tidur di sofabed yang tersedia di sudut ruangan di bawah jendela kaca. Sementara Gilang memilih tidur di sofa yang terletak tak jauh dari pintu masuk.

"Bagaimana kabarmu?" Cinta mendekat. Berdiri di belakang Nami yang duduk di singlesofa samping brankar.

Kinanti hanya mengedikkan bahu dengan senyum kecil, tidak tahu harus menjawab apa. Walau tidurnya terasa nyenyak saat malam tadi. Bahkan ia tidak sadar saat Gilang kembali ke ruang inapnya pada jam berapa, setelah dari ruang bayi. Tapi tubuhnya terasa sangat lelah dan pegal ketika bangun pagi tadi. Lalu lambungnya terasa luar biasa lapar ketika ia menyelesaikan mandinya.

Cinta meminta Kinanti tidak perlu terlalu banyak bergerak. Kinanti setuju, lagi pula bagian bawah tubuhnya masih terasa sedikit nyeri dan ngilu.

Suara pintu terdengar di ketuk tiga kali dari luar, tak lama sebelah daun pintu kembar itu terbuka. Seorang Suster mendorong tabung Inkubator berisi bayi merah yang terlihat sudah terbungkus dalam balutan kain bedong hangat dan lembut berwarna peach.

Bayi itu tengah menangis kencang. Seolah tengah memanggil siapapun agar segera mengeluarkannya dari tabung hangat itu.

Gilang dan Darsih yang sejak tadi tengah menikmati sarapan pagi yang di bawakan oleh Nami dan Cinta, segera beranjak meninggalkan sofa. Mendekati tabung Inkubator yang sudah di dekatkan ke brankar Kinanti yang kini hanya diam menunduk menatap kedua tangannya.

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang