Duabelas

14.9K 1.2K 38
                                    

Mobil yang Cinta kendarai berhenti di pinggir jalan, di depan halaman rumah Darsih. Karena hari ini adalah jadwal libur harian Cinta, Nami mengajaknya untuk melihat Kinanti.

Sebelum mereka keluar, Cinta melihat sekali lagi ke halaman rumah Darsih. Di sana terdapat satu sepeda motor yang di parkir di halaman rumah Darsih. Sepeda motor trail yang tak asing di matanya.

"Bukannya itu motor Gilang ya, Ma?"

"Sepertinya sih, iya?" Nami menjawab tidak yakin. Karena putera bungsunya itu terlihat sangat jarang memakai sepeda motornya. Hanya sesekali jika ingin touring bersama teman-temannya. Selebihnya, Gilang mengaku lebih suka mengendarai mobil. Nami juga jarang melihat motor itu, karena selalu tersimpan di garasi rumahnya.

Satu pikiran yang terasa sulit di mengerti melintas di benaknya. Cinta menoleh menatapnya. Mereka bertatapan untuk beberapa saat. Seakan mereka sama-sama memiliki satu pemikiran yang sama. Dengan segera mereka keluar.

Semakin mendekati sepeda motor yang terparkir itu, semakin Cinta menyadari bahwa adik bungsunya sedang berada di rumah Darsih.

Suasana yang sepi seakan membuat Nami merasa semakin ketakutan. Dengan kedua tangan yang saling meremas, ia mengikuti puterinya yang sudah berdiri di depan pintu rumah Darsih yang tidak tertutup rapat.

Cinta mendorong pintu itu agar semakin terbuka lebar. Suasana di dalam rumah Kinanti terlihat sangat sepi. Samar-samar, ia menangkap suara rintihan yang berasal dari kamar Kinanti. Dengan segera Cinta melangkah ke sana di ikuti ibunya dari belakang.

Pintu kamar Kinanti tidak tertutup. Dan apa yang ia lihat di sana membuatnya dan Nami terbelalak tak percaya dengan apa yang tengah mereka lihat.

Kinanti berada di bawah kungkungan tubuh Gilang di lantai kayu yang dingin. Sebelah tangan Gilang menahan kedua tangan Kinanti di atas kepala. Sementara sebelah tangannya membekap mulut Kinanti yang terus berusaha berteriak meminta pertolongan. Gadis itu menggeleng berusaha melepas tangan Gilang dari bibirnya bahkan air mata tak membuat Gilang mengasihaninya. Sementara tubuh atasnya sudah polos, dengan baju piyama yang terbuka dan payudara terekspos yang sejak tadi sedang di nikmati Gilang.

"GILANG!!"

Mendengar bentakan itu, membuat Gilang menghentikan perbuatannya pada Kinanti. Menatap tak percaya pada ibunya yang berdiri di balik punggung kakaknya, di depan pintu kamar Kinanti yang terbuka.

Sialan!

Secepat kilat, Gilang menjauhkan tubuhnya dari Kinanti. Kinanti, berusaha mendudukkan tubuhnya dan menyandarkan tubuhnya pada dinding di belakangnya. Masih dengan menangis tersedu-sedu, ia berusaha menutup tubuh atasnya. Setidaknya pria itu tidak lagi berusaha memaksakan kehendaknya.

"Ma, ini gak seperti yang mama lihat." Cicitnya takut menatap Nami. Berusaha mendekati kakak dan ibunya.

Plak!!

Tamparan Cinta bersarang di pipi kirinya. Gilang menatap tak percaya pada kakaknya. Kakaknya yang begitu memanjakannya tak pernah berlaku kasar padanya. "Kurang ajar kau, ya?! Setelah apa yang kau lakukan pada Kinanti, sekarang kau mau memperkosanya lagi?"

"Kak, ini.."

"Mama kecewa padamu, Gilang." Nami pergi dari sana dan memilih duduk di kursi ruang tamu untuk menumpahkan tangisannya.

Sementara Cinta membantu membenahi pakaian Kinanti dan berusaha menenangkan tangisannya.

"Ma,,"

"Cukup, Gilang! Cukup! Mama gak mau kau terus beralasan." Nami menghapus air matanya. "Kalian harus menikah, secepatnya. Mama minta satu hal," menatap Gilang memohon. "Jangan menolak pernikahan ini. Jangan buat Mama kecewa lagi."

KINANTIWhere stories live. Discover now