Tiga

22.3K 1.6K 24
                                    

"Kinanti?" Panggilan dan sentuhan lembut di bahunya membuat gadis itu terkejut bukan kepalang. Dengan segera Ia menyentuh dadanya tempat di mana jantungnya berdetak lebih cepat dan menoleh ke belakang.

"Nenek." Gumaman kecil dan reaksi keterkejutan Kinanti membuat Darsih mengerutkan dahinya bingung.

"Ada apa?"

Darsih masih menatap wajah cucunya yang terlihat seperti termenung beberapa saat sambil menatapnya. Lalu gerakan bibir gadis itu terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu lalu terkatup kembali dan menggeleng kecil sambil kembali membalik tubuh membelakanginya.

Mereka baru selesai makan malam. Gadis itu berada di depan lemari piring yang telah ia cuci untuk di simpan kembali. Lalu berbalik melihat Darsih dengan takut-takut.

"Aku ke kamar ya, Nek? Aku sedang tidak enak badan." Pamitnya lalu pergi tanpa menunggu jawaban Darsih.

Diam-diam, Darsih menatap kepergian Kinanti dengan dahi yang berkerut saat melihat cara berjalan cucunya yang terlihat berbeda.

Tidak biasanya Kinanti bersikap seperti tadi. Bahkan, saat ia pulang sore tadi tak mendapati sambutan hangat yang selalu Kinanti berikan padanya. Sejak sore tadi Kinanti terlihat lebih banyak terdiam dan melamun. Raut wajahnya terlihat pucat dan pancaran matanya yang sedih. Ada apa dengan cucunya?

* * *

Tok! Tok! Tok!

Darsih mengetuk pelan daun pintu kamar Kinanti yang tertutup rapat. Membuka dan mendorongnya perlahan. Matanya mencari keberadaan cucunya, dan menemukan Kinanti duduk di kursi meja belajarnya. Dengan kepala menunduk dan buku terbuka yang ada di atas meja tepat dihadapan matanya.

"Kinanti?" Darsih memanggilnya lembut, tapi yang ia lihat Kinanti terlihat begitu terkejut saat mendengar suaranya. Dengan cepat gadis itu menoleh menatap Darsih yang sudah melangkah masuk mendekatinya.

"Apakah kau sibuk? Nenek ingin membawamu ke rumah Ibu Nami." Jelasnya.

Manik mata gadis itu terbelalak terkejut mendengar permintaan Darsih. Tiba-tiba saja, tangannya yang masih berada di atas meja mulai bergetar pelan. Secara perlahan ia menarik ke dua tangannya untuk ia genggam dan sembunyikan di atas pahanya yang berada di bawah meja. Hal itu luput dari pengamatan Darsih. Ia tak menaruh curiga apapun.

"Apakah harus, Nek?" Tanya Kinanti pelan.

Ini hari minggu. Jika hari libur seperti ini di rumah keluarga Nami pasti akan ramai, yang biasanya rumah besar itu selalu sepi karena suami dan anak-anaknya sibuk bekerja. Terlebih ia sangat takut bertemu kembali dengan Gilang, sosok yang sejak malam pemerkosaan itu ia benci.

Darsih mengangguk dan mengelus puncak kepala Kinanti, "Hari ini sedang ada acara di rumah Bu Nami. Kak Cinta akan di lamar oleh kekasihnya. Dan kau di minta Kak Cinta untuk ikut datang." Jelasnya dengan menyebut nama Cinta yang merupakan anak sulung Ibu Nami, seorang dokter Kebidanan dan Kandungan.

"Tapi,," Kinanti menunduk. Ia ingin menolak, tapi bingung akan memberi alasan apa pada Darsih. Karena seperti biasanya, ketika hari minggu atau saat Darsih mengajaknya ke tempatnya bekerja, Kinanti tak pernah menolak.

"Inikan hari minggu. Lebih baik kau ikut nenek dari pada sendirian di rumah." Dan terus melamun. Lanjut Darsih dalam hati.

Kinanti mendongak. Menatap Darsih dengan matanya yang bulat bersorot penuh permohonan agar tetap ditinggalkan sendirian di rumah. Namun, saat melihat Darsih yang tidak sedikitpun mengerti dengan arti tatapannya, mau tidak mau Kinanti mengangguk lemah dan memilih mengikuti neneknya.

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang