Empat Puluh Satu

23.7K 2.2K 26
                                    

Gilang hanya diam menatap wanita yang duduk di tepi ranjang sambil memainkan rambutnya. Memuntir-muntirnya dengan jari telunjuk. Menatap lurus ke halaman hijau nan asri di luar sana dari balik teralis besi bercat putih dengan dua daun jendelanya yang terbuka lebar. Menggoyang-goyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri dengan pelan seraya bersenandung kecil. Dengan sebelah tangannya yang lain memeluk boneka perempuan berambut pirang kuning yang di kepang dua dan bertopi merah muda.

"Kau bisa meninggalkanku sebentar?" Pinta Gilang pada seorang perawat yang ikut masuk menemaninya.

Perawat perempuan itu menatap Gilang tidak yakin. Pasalnya yang akan berhadapan dengan Gilang merupakan seorang wanita sakit jiwa yang tidak bisa di pastikan akan tetap tenang atau malah berteriak histeris seperti minggu lalu. Terlebih saat ini pria itu membawa seorang bayi mungil yang tersembunyi di kain gendong kangguru di depan tubuhnya.

"Tapi, Pak,"

"Kau tidak perlu khawatir," sela Gilang. "Ibu Ambar adalah ibu mertuaku. Dia tidak akan menyakitiku. Terlebih aku sedang membawa cucu pertamanya. Aku bisa melindungi puteriku, jika itu yang kau takutkan." Jelasnya.

Walau terlihat ragu-ragu. Akhirnya perawat itu mengangguk dan memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Menutup pintu dan membiarkan Gilang bersama puterinya berada di hadapan seorang wanita sakit jiwa yang ia tahu sudah begitu lama mendekam di dalam sana.

Gilang masih diam dan terus memperhatikan gerak-gerik wanita yang cukup jauh di depannya. Setelah memastikan perawat itu sudah benar-benar menjauh. Gilang segera mengambil jarak dua langkah mendekat.

"Ibu Ambar, maaf jika seminggu yang lalu aku belum sempat memperkenalkan diri." Ucap Gilang menyesal. "Namaku Ragilang Iskasari Baumi. Kau bisa memanggilku, Gilang. Aku suami dari puterimu, Kinanti."

Perempuan itu tidak merespon. Hanya tertawa sebentar dan masih tetap menatap halaman luas di luar sana. Lalu kembali bersenandung kecil dan menggoyang-goyangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan.

Gilang menghela napas. "Apa Ibu tahu, ucapan terakhir Ibu seminggu yang lalu begitu sangat menyakiti istriku. Ibu melukai hati puteri Ibu begitu dalam." Lagi-lagi wanita itu acuh. Tertawa dan memuntir sejumput rambutnya. Lalu kembali bersenandung kecil.

Melihat itu, Gilang tersenyum miring. "Ibu bisa membuka topeng itu di hadapanku. Tanpa perlu berpura-pura gila seperti itu."

Senandung kecil, gerakan tubuhnya ke kanan dan kiri, serta jemari yang memuntir sejumput rambut itu terhenti seketika. Wanita itu masih menatap halaman luas berumput di luar sana. Kini kedua tangan wanita itu saling meremas di pangkuannya sementara kepalanya menunduk dalam.

"Kau tahu?" Gilang mengangguk walau tahu wanita itu tidak melihatnya.

Ia mencurigai gerak-gerik wanita itu sejak awal. Dari caranya yang memeluk Kinanti begitu erat. Tangisannya yang meraung serta ciuman-ciumannya yang tidak henti untuk Kinanti. Seolah ingin membayar rasa rindu dan bersalahnya selama lima belas tahun terakhir ini yang jauh dari puterinya.

"Jangan beritahu siapapun." Ambar menoleh, menatap penuh permohonan.

"Tidak akan. Asalkan Ibu mau ikut pulang bersamaku."

Ambar menggeleng pelan, memejamkan kedua matanya, "Tidak. Biarkan aku tetap di sini, menebus semua dosa dan bersalahku pada Kinanti dan Ibuku." Putusnya.

Gilang menggeleng tak percaya. Mengambil satu langkah mendekat. "Tapi, dengan Ibu yang tetap memilih menetap di sini, sama saja itu membuat Kinanti semakin sedih. Apakah Ibu tahu, Kinanti selalu menyalahkan dirinya sendiri karena ini? Apakah Ibu tidak kasihan dengan puteri Ibu sendiri."

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang