Duapuluh satu

19.1K 1.9K 63
                                    

Kinanti meletakkan bunga mawar putih pemberian Yugo ke dalam gelas kaca bening berisi air. Lalu letakkan ke sudut wastafel dan berbalik keluar.

Luar biasa terkejutnya saat ia membuka pintu kamar mandi, Gilang ada di sana. Duduk di tepi ranjang menghadap ke pintu kamar mandi. Untung saja Kinanti sudah memakai pakaiannya di kamar mandi dan merapikan rambutnya di sana.

Hal yang sangat jarang terjadi, karena di setiap kali ia sedang mandi, kamar ini akan kosong. Seolah-olah hanya dirinyalah penghuni di kamar ini. Begitupun sebaliknya, saat tahu Gilang sedang berada di kamar mandi, Kinanti memilih pergi keluar dari kamar. Mereka layaknya seperti dua kutub magnet yang bersamaan, saling tolak menolak.

Gilang mendongak menatapnya. Masih dengan tatapan yang tidak bersahabat itu. Kinanti mencoba acuh dan berjalan menuju pintu keluar, menganggab bahwa Gilang tidak ada di sana.

"Buang bunga itu!" Kinanti hanya diam dan terus berjalan. Tidak menjawab bahkan tidak menoleh sedikitpun.

"Jangan dekati Yugo!" Merasa terus di acuhkan bahkan tidak di dengarkan sama sekali, pria itu berdiri dan menyentak tangan gadis itu berbalik menatapnya. "Aku bilang jangan dekati sahabatku!"

Kinanti menarik tangannya. "Aku tidak mendekatinya." Balasnya tidak berani menatap manik hitam Gilang yang terlihat begitu tajam menatapnya.

"Dari caramu menatap, tersenyum dan menerima bunga itu, kau terlihat menyukainya dan berusaha mendekatinya!" Telunjuk Gilang mengacung pada Kinanti. Dadanya naik turun. Rahangnya mengetat.

Kinanti merasa perutnya luar biasa lapar. Dan akhir-akhir ini ia lebih mudah merasa lapar. Cinta bilang itu wajar karena bayi di rahimnya memelurkan banyak asupan. Dan dengan tidak perdulinya, Kinanti kembali melangkah meninggalkan Gilang.

Toh, selama ini ia sudah biasa di caci maki oleh pria itu. Ia sudah terbiasa mendapat omelan tidak jelas dan berakhir ia anggab bagai angin lalu. Maka begitu juga yang ia lakukan saat ini.

"Hei, aku sedang bicara padamu!" Geram Gilang. Memeggang kedua bahu Kinanti dan memaksanya berbalik untuk menatapnya.

"Lepas.."

Gilang melepaskan kedua tangannya yang di sentakkan oleh Kinanti. Dengan geram Gilang berbalik melangkah ke kamar mandi di ikuti tatapan Kinanti di balik punggungnya. Rahangnya langsung menegang kaku melihat bunga itu di letak di wastafel kamar mandinya. Dengan penuh amarah, Gilang mengambil gelas berisi bunga itu dan melemparnya ke lantai. Hingga pecah berkeping-keping.

"Apa yang kau lakukan?!" Matanya melotot tak percaya.

"Aku tidak suka kau menyimpan bunga itu di kamar mandiku." Gilang berbalik menatap marah Kinanti yang hanya menatap bunga dan pecahan kaca yang tak jauh dari kaki Gilang.

"Itu hadiah ulang tahunku." Lirihnya.

Seumur hidupnya, Kinanti tidak pernah mendapatkan hadiah di hari ulang tahunnya sejak ia kecil, karena nenek tidak pernah mempunyai uang yang lebih. Tidak sanggup membelikannya hadiah ulang tahun atau kue ulang tahun yang murah sekali pun seperti anak-anak pada umumnya.

Di setiap tahunnya, ketika tanggal kelahirannya tiba, di pagi hari nenek hanya bisa memberikan satu potong bolu dengan harga seribuan yang di jual di warung bersama satu batang lilin putih kecil yang tertancap dan menyala. Lalu mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.

Ketika malam tiba, nenek membangunkannya yang sudah terlelap untuk melihat langit malam yang indah bertabur warna warni bunga api yang di mainkan oleh orang-orang yang mempunyai uang lebih.

Dulu, Kinanti kecil merasa bahagia setiap melihat petasan di atas langit sana. Dan menganggap itu adalah hadiah terindah dari nenek di setiap ulang tahunnya. Namun setelah ia mengerti, petasan itu hanyalah sebuah kebetulan karena orang-orang merayakan malam pergantian tahun baru, bukan hadiah ulang tahunnya. Setelahnya Kinanti tidak mengeluh, ia menyadari kekurangan mereka.

KINANTIWhere stories live. Discover now