Dua Puluh Delapan

21.9K 1.6K 14
                                    

"Katanya sih, begitu. Hamil, dinikahkan. Terus sekarang di cerai."

Apa yang kau pikirkan, ketika tinggal di desa dengan tetangga satu dan yang lain saling mengenal dan terlalu 'ramah'. Terutama para ibu-ibu rumah tangga yang 'ramah', setiap sore hari suka berkumpul dari satu pintu rumah ke pintu rumah lainnya dengan 'baik hati' memberikan informasi yang jauh dari kebenarannya.

"Oh, pantas saja selama beberapa bulan ini batang hidungnya tidak kelihatan. Disembunyikan di rumah mertuanya, ya?"

Bahkan, rumor itu bukan lagi sekedar bisik-bisik tetangga. Para ibu-ibu penggosip sudah mulai berani menyebarkan urusan pribadi orang lain dengan suara yang sengaja di keraskan, dengan maksud agar orang yang di gosipkan mendengarnya.

"Kasihan neneknya, padahal orangnya baik banget. Malah dapat cucu yang selalu membawa sial."

Para penggosip itu tidak segan membicarakan orang yang menjadi pembicaraan mereka mendengar semuanya. Tidak merasa bahwa apa yang akan di gosipkan menjadi cambuk kesakitan, membuat orang yang di maksud semakin terpuruk.

"Itukan karena ulahnya si Ambar, membawa anak haramnya. Makanya Mbak Darsih ketiban sial terus sampai sekarang."

Setelah beberapa hari mulai berani menampakkan diri. Kinanti langsung di sambut dengan berbagai gosip dan nyinyiran para tetangga saat tidak sengaja beradu tatap dengannya. Bahkan membawa-bawa nama ibunya.

"Buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Dulunyakan si Ambar suka menggoda majikannya sampai melahirkan anak haram. Sekarang anak haramnya juga melakukan hal yang sama. Tapi bedanya anak haram itu menggoda anak majikan neneknya."

Kinanti menatap bayangan dirinya melalui pintu lemari kaca yang hanya menampilkan setengah dari dirinya, mulai dari pinggul hingga ke kepala. Memperhatikan tubuhnya dari mulai perutnya yang mulai membesar sampai ke wajahnya. Mencari tahu apa yang salah pada dirinya hingga menyebabkan semua orang membencinya? Ia tidak pernah membenci siapapun, tapi kenapa ia selalu menjadi orang yang di benci?

Kinanti menatap wajahnya secara keseluruhan. Wajahnya yang tidak memiliki sedikitpun garis keturunan Indonesia bahkan rambut dan manik matanya yang begitu berbeda. Perbedaan yang begitu nyata, karena wajah itulah penyebab ia selalu di bully di manapun ia berada.

Di bully karena ia yang berbeda.

Di bully karena tidak memiliki ayah.

Di bully karena tidak memiliki ibu.

Di bully karena ia miskin dan neneknya tidak bisa memberikan barang berharga.

Di cap sebagai anak haram.

Di cap sebagai anak pembawa sial.

Di benci oleh siapapun.

Di lecehkan karena kebodohannya. Hingga menyebabkanya hamil di usia muda.

Sekolahnya belum selesai.

Impiannya tidak akan pernah tercapai.

Semuanya terus berputar di benaknya.

Lalu, kenapa Tuhan masih membiarkannya hidup sampai sekarang? Jika di setiap langkahnya selalu dikucilkan.

Kenapa ia harus hamil? Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawanya saat Gilang mencoba membunuhnya? Kenapa ia harus diselamatkan? Kenapa ia harus hidup jika tidak ada seorangpun yang menginginkannya hidup.

Gadis itu menatap lurus pada netra matanya yang membalas tatapannya melalui cermin. Seolah menambahkan tekad kuat untuknya.

Ya, memang seharusnya ia tidak usah di lahirkan. Seharusnya ia tidak hidup. Sebaiknya ia mati saja. Toh, tidak akan ada yang perduli jika ia mati. Tidak akan ada yang menangis jika ia mati. Tidak akan ada yang mencari jika ia hilang dari dunia ini.

KINANTIWhere stories live. Discover now