Empat Puluh Tujuh

31.8K 1.7K 67
                                    

Gilang menutup matanya saat melihat istrinya benar-benar memilih pergi meninggalkannya. Menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Bersamaan dengan air mata yang luruh membasahi pipi dan luka yang kini bersarang di hatinya.

Ia tidak mengerti dengan hidupnya. Kenapa takdir selalu mempermainkannya. Kenapa tidak sejak dulu, di saat ia belum merasakan perasaan yang begitu dalam untuk Kinanti? Kenapa tidak sejak dulu mereka berpisah jika memang mereka tidak di takdirkan bersama? Apakah takdir ingin membalas sakit hati Kinanti, saat dulu ia selalu menyakiti istrinya?

Telapak tangan kanannya menekan dada kirinya. Di mana saat ini jantungnya berdenyut nyeri dan terasa sangat begitu sakit. Lebih sakit saat dulu ia melihat kepergian Vera bersama pria lain.

Tiba-tiba saja Gilang merasa gamang, saat otaknya memutar ulang semua kejahatan yang pernah ia lakukan pada Kinanti, dulu. Ia sudah menyesal. Benar-benar menyesal untuk itu. Apakah selama ini Kinanti tidak pernah melihat cinta di matanya? Apakah Kinanti tidak pernah menyadari perasaannya? Ataukah Kinanti tahu dan memanfaatkan keadaan itu? Setelah ia benar-benar bertekuk lutut di bawah kaki Kinanti, wanita itu memilih meninggalkannya?

Layaknya film dokumenter, ingatannya terus memutar semua kenangan manis yang ia lakukan bersama Kinanti dan Kaianna. Pelukan hangat dan ciuman mesra mereka. Canda dan tawa keluarga kecil mereka. Pembicaraan mengenai masa depan yang manis, yang selalu mereka lakukan di atas tempat tidur di setiap malam dengan pelukan hangat di balik selimut.

"Aku sayang Bang Gilang. Tapi aku tidak mau kalian tertimpa sial jika tetap memilih tinggal di sekitarku."

Sial! Ia memaki dirinya di dalam hati yang terlalu fokus dengan ketakutannya kalau Kinanti akan pergi meninggalkannya. Dan tidak benar-benar memahami setiap kalimat yang di ucapkan istrinya itu.

Gilang mengusap wajahnya dengan lelah saat menyadari kalau Kinanti berpikir bahwa kehadiran wanita itu akan membawa hal-hal yang tidak baik untuk orang di sekitarnya.

Ia tahu kalau Kinanti selalu memikirkan kebahagian orang-orang di sekelilingnya tanpa memikirkan kebahagiaannya terlebih dulu. Ia tahu kalau Kinanti selalu meresap semua ucapan orang-orang yang ada di sekitarnya dan ia simpan sendiri di hatinya. Tanpa mau membaginya dengan siapapun jika itu terdengar menyakitkan. Dan ia menyadari bahwa istrinya seperti ini karena neneknya, Romian.

Dengan segera ia mengejar kepergian Kinanti. Berteriak di sepanjang langkahnya memanggil nama istrinya. Berharap Kinanti masih ada di dalam rumahnya dan ia bisa menghentikan kepergian wanita yang begitu ia cintai.

Harapannya terkabul saat langkah kakinya yang berlari sampai di ruang tamu. Menghela napas lelah saat melihat Kinanti berada di sana bersama keluarganya yang berkumpul, mungkin berusaha menghentikan kepergiannya. Dengan puterinya yang kini berada di pelukan Kinanti.

"Jangan pergi, Kinanti." Iskandar, Nami, Darsih bersama kedua kakaknya langsung berbalik menoleh menatapnya yang berdiri di pintu penghubung. Begitu juga dengan Kinanti. Ia sudah tidak melihat perhiasan yang ia berikan berada di tubuh istrinya. Namun kini berpindah ke tangan ibunya.

Gilang melangkah mendekat. "Di dunia ini, tidak ada yang namanya anak sial jika itu yang kau takutkan. Setiap anak yang terlahir di dunia ini merupakan anugerah terindah dari Allah. Semua itu tergantung dengan sikap yang di berikan oleh orang tua masing-masing, menerima anak yang ia lahirkan atau menolak anaknya sendiri."

Kinanti menunduk. Mengecup lama puncak kepala puterinya yang kini bersandar di dadanya. Meresap kehangatan tubuh puterinya. Berharap suatu hari nanti ketika ia merindukan Kaianna, ia akan mengenang satu memori terakhir mereka.

"Mungkin, Ibu memang pernah menolakmu. Tapi itu bukan berarti karena dia membencimu dengan nasib buruk yang ada padamu. Dia hanya belum siap. Bukankah kau tahu bahwa Ibumu menyesal?"

KINANTIWhere stories live. Discover now