Tiga Puluh Sembilan

25.2K 1.9K 11
                                    

Terima kasih untuk semua sobat pembaca yang sudah memberi vote dan komen yang membuat mataku berlope-lope, dadaku berbunga-bunga dan telingaku membesar seperti gajah😄 (LEBAY)

* * *


Memasuki dapur, Gilang di sambut dengan suara kekehan geli puterinya yang terlungkup di atas meja makan. Cinta duduk di kursi makan tengah mengawasi dan mengajak bayi itu bercanda. Berpura-pura menggigit lengannya yang montok dengan bibir.

Gilang menarik salah satu kursi dan meletakkan jas dan tas kerjanya di sana. Melangkah mendekati puterinya yang terlihat segar sehabis mandi. Dengan gaun tanpa lengan berwarna pink dengan garis-garis warna-warni yang saling bertabrakan. Di kepalanya yang bulat, melingkar bandana putih dengan hiasan bunga berwarna pink di perindah dengan permata sebagai mahkota bunganya.

Kaianna sudah berusia lima bulan. Puterinya itu sangat sehat dan aktif. Mudah tersenyum jika di ajak berbicara oleh siapapun. Membuat orang-orang yang ada di sekitarnya gemas dan tak jarang ada yang iseng ingin mencubit pipinya yang bulat dan selalu merona. Persis seperti Kinanti.

Puterinya memang memiliki wajah dan warna rambut yang sama persis seperti dirinya. Tetapi warna matanya yang biru dan kulitnya yang putih bersih, Kaianna mengambil gen ibunya. Terlebih bibir dan pipinya yang selalu merona.

"Anak Ayah sudah cantik!" Memajukan wajahnya hendak mencium puterinya. Dengan iseng Cinta mendorong sebelah pipi Gilang dengan telunjuknya untuk menjauhi Kaianna.

"Ayahnya bau! Gak boleh cium-cium anak cantik kami, ya!" Peringat Cinta. Gilang cemberut.

Nami mendekat. Membawa satu piring apel yang sudah ia potong-potong untuk Cinta. Melihat ibunya mendekat. Gilang segera menegakkan tubuhnya yang sejak tadi menunduk. Memilih memeluk Nami dan mencium sebelah pipinya. "Ya sudah. Aku cium Nenek cantik ini saja."

"Kenapa kau lama sekali pulang? Kenapa tidak pulang bersama Papa dan Kakakmu?" Tanya Nami setelah Gilang melepaskan pelukannya.

Ini sudah hampir jam enam sore. Sementara suami dan Citra sudah tiba di rumah sejak jam lima sore.

"Ada janji sama teman." Nami mengangguk. "Kinanti, mana, Ma?" Gilang celingukan mencari istrinya. Sementara di dapur hanya ada Darsih yang sedang memasak makan malam.

"Lagi mandi deh, sepertinya."

"Okelah. Aku mau naik dulu." Gilang berbalik. Mengambil tas dan jasnya lalu melangkah keluar dari dapur. Namun langkahnya segera terhenti saat mendengar suara rengekan puterinya.

Berbalik. Gilang melihat Kaianna sudah berada dalam gendongak Cinta, mulai menangis dan membuka kedua tangan ke arahnya. Dengan kedua telapak tangannya yang mengepal dan terbuka secara bergantian. Gadis kecil itu meminta di gendong olehnya.

Gilang tersenyum. Kembali melangkah mendekati kakaknya dan mengambil puterinya yang kini tersenyum padanya.

"Mau sama Ayah, ya? Gak mau sama Mama Cinta, iya?" Pria itu berbicara dengan Kaianna yang hanya tersenyum memamerkan gusinya yang sehat.

Cinta menolak di panggil Tante maupun aunty untuk bahasa kerennya. Ia membahasakan dirinya pada Kaianna dengan sebutan Mama. Mendengar itu, Citra juga ikut-ikutan menolak di panggil Tante. Dia juga meminta agar Kaianna memanggilnya Mama.

Sementara Kinanti, selalu membahasakan dirinya dengan sebutan Ibu. Tidak mau mengikuti apapun yang di pilihkan oleh mereka. Seperti Bunda, Mama, Mami, Mimi, Umi. Bahkan Citra membujuknya agar Kaianna memanggil Kinanti dengan sebutan Mommy. Kinanti tetap menolak dan tetap teguh pada pendiriannya.

KINANTIWhere stories live. Discover now