Empat

20.4K 1.4K 2
                                    

Hari-hari berlalu begitu saja. Namun sikap Kinanti yang aneh tak pernah kembali seperti Kinanti yang dulu. Yang selalu ceria, menyambut dengan gembira setiap kepulangan Darsih dari rumah Nami. Darsih tahu ada yang disembunyikan Kinanti. Tapi, setiap ia bertanya gadis itu tak pernah mau menjawabnya. Raut wajahnya cenderung sedih dan terlihat ingin menangis.

"Ada apa, Mbak?" Tanya Nami sopan pada Darsih yang akhir-akhir ini terlihat sering melamun.

Dasih mengenal Nami dan suaminya sebagai orang baik dan sopan. Sejak dulu mereka tidak pernah memanggil Darsih dengan panggilan Bibi atau embel-embel panggilan pembantu lainnya. Mereka sangat menghormati orang yang lebih tua. Terlebih Darsih hanya berjarak tiga tahun lebih tua dari Nami, membuat wanita itu lebih nyaman memanggil Darsih dengan sebutan 'Mbak'.

Darsih terlihat sedikit terkejut. Ia mendongakkan wajahnya untuk menatap Nami.

"Maaf, Bu. Saya hanya kepikiran Kinanti." Darsih menjawab sopan. Ia tak pernah mau memanggil tuan dan nyonya rumah serta anak-anak majikannya hanya dengan panggilan nama saja, seperti yang selalu di minta oleh penghuni rumah. Ia terlalu sopan dan tahu siapa dirinya.

"Ada apa dengan Kinanti?" Nami mendekat dan memilih duduk di kursi meja makan.

"Saya bersihkan dulu," Ujarnya melanjutkan membersihkan meja makan setelah Nami mengangguk, lalu melanjutkan, "Akhir-akhir ini Kinanti lebih banyak diam dan melamun."

"Mbak, sudah bertanya apa yang terjadi?"

Darsih mengangguk hendak menjawab, ketika suara deringan ponsel polifonik yang tersimpan di saku celananya membuatnya mengurungkan niat. Dan memilih mengangkat panggilan yang berasal dari wali kelas Kinanti, setelah meminta izin pada pemilik rumah, Darsih sedikit mengambil langkah menjauh.

"Halo?"

"Maaf, Nek, saya mengganggu waktunya sebentar."

"Oh, iya, tidak apa-apa, Dek. Ada apa ya?"

"Saya hanya ingin bertanya. Apakah Kinanti sudah memberikan surat rekomendasi beasiswa unggulan
untuk melanjutkan ke SMA yang ada di luar kota?"

"Beasiswa ke luar kota? Tidak pernah. Kenapa ya?"

"Surat rekomendasi itu seharusnya sudah di kumpul sejak lima hari yang lalu dan hari ini adalah jadwal pengumpulan yang terakhir. Sebagai siswi yang berprestasi, saya sangat berharap Kinanti menerima beasiswa unggulan itu dan saya mengajukan namanya ke pada kepala sekolah. Tetapi, sampai hari ini saya tidak menemukan surat rekomendasi atas nama Kinanti di meja kerja saya. Saat saya bertanya, Kinanti bilang, kalau Ibu tidak menyetujuinya pergi keluar kota. Apakah itu benar, Nek?"

Jantung Darsih berdebar tak menentu. Ada apa dengan cucunya? Kinanti tak pernah menyembunyikan sesuatu apapun darinya. Dan hal yang baru saja diberitahukan oleh guru wali kelas Kinanti adalah sebuah kebohongan yang Kinanti ucapkan. Kenapa Kinanti membohongi guru kesayangannya itu? Kinanti yang ia kenal tak pernah berbohong pada orang-orang yang ia sayangi.

"Tidak, Kinanti tidak pernah memberitahu saya." Jawabnya sedih seraya meremas baju di bagian dada tepat di jantungnya.

Nami, yang melihat wajah pias Darsih segera berdiri mendekatinya. Membantu Darsih duduk di kursi meja makan yang tadi ia tempati.

"Maaf, Nek. Jika saya lancang menanyakan ini. Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Akhir-akhir ini saya sering melihatnya melamun, terlebih Kinanti terlihat tidak bersemangat seperti biasanya."

Ternyata, Kinanti tidak hanya bersikap aneh saat di rumah. Tetapi juga di luar rumah. Tanpa sadar, Darsih telah meneteskan air mata.

"Saya tidak tahu. Kinanti tidak pernah mau menjawab saat saya bertanya apa yang sudah terjadi."

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang