Tujuh

16.8K 1.4K 4
                                    

"Jangan pernah mengadu pada siapapun dengan apa yang sudah terjadi malam tadi!"

" Jika ada seorang saja yang mengetahuinya lalu sampai ke telingaku, aku tidak ragu membunuhmu, kau paham?!

"Aku ingin merasakan kenikmatan darimu. Tapi ingat, jangan pernah memberitahukan semua ini pada siapapun! Termasuk keluargaku, mereka tidak akan mempercayaimu."

"Sekali saja kau membuka mulut, nenekmu akan malu seumur hidup karena memiliki cucu hina sepertimu."

"Aku bisa saja memecat nenekmu dan membuatnya tidak bisa mendapat pekerjaan dimanapun sekalipun itu harus menjadi pemulung."

"Kau sangat menyayangi nenekmu, bukan? Ingat kata-kataku, tidak ada yang boleh tahu aku melakukan ini padamu. Jika sampai ada yang tahu, aku tidak segan-segan melakukan sesuatu pada nenekmu dan membuatmu menyesal."

"Sekali lagi kau melakukan kesalahan, nenekmu akan kupecat, dan semua orang akan kuberitahu bahwa kau memelacurkan diri kepadaku. Lalu nenekmu akan menanggung malu seumur hidupnya."

* * *

Kinanti membuka matanya secara perlahan. Aroma pembersih lantai yang menyengat, langit-langit kamar juga dinding di sisi kirinya yang berwarna putih bersih, salah satu punggung tangannya yang di infus dan tirai hijau yang menyembunyikan pemandangan memberi pertanda padanya bahwa saat ini ia sedang di rawat.

Kinanti masih bertanya-tanya di dalam hati, ia kenapa dan di mana? tempat ini asing baginya. Lalu suara isak tangis pelan yang terdengar begitu sedih dan lirih terasa begitu menyayat hatinya. Itu suara neneknya. Tapi kenapa nenek menangis?

Kinanti menoleh perlahan ke arah sumber suara langkah kaki yang terdengar semakin mendekatinya. Kepalanya masih terasa pusing, ia tidak ingat apa yang telah terjadi dan kenapa sampai ia harus di rawat diruangan itu. Lalu tirai hijau yang menyembunyikannya tersibak dan di buka.

Nenek berdiri di sana. Dengan mata sembab dan merah sehabis menangis, menatapnya dengan sorot kesedihan dan kegagalan yang begitu mendalam. Di samping neneknya ada Suci yang sejak sore tadi menemani mereka di sana dengan mata memerah sehabis menangis juga.

"Kinanti," Darsih bergumam pelan penuh kesedihan. Melangkah mendekatinya dan duduk di kursi plastik yang terletak di samping brankarnya. Suci berdiri di belakang Darsih, mengusap-usap bahu wanita itu dengan lembut.

"Maafin nenek.." Darsih mengambil tangan Kinanti yang bebas dari jarum infus. Menggenggam nya dan membawanya ke pipinya. Ia kembali menangis.

Darsih meminta maaf atas kesalahannya yang tidak peka juga kegagalannya menjaga Kinanti. Seharusnya ia tahu apa yang telah disembunyikan oleh gadis kecil kesayangannya. Kinanti tumbuh besar dengan ke dua tangannya, bagaimana mungkin gadis itu bisa begitu rapat menyimpan rahasia yang begitu menyakitinya?

Seharusnya ia sadar, saat melihat gelagat aneh cucunya yang tak biasa. Melihat saat itu cara berjalan Kinanti yang seperti menahan sakit. Perubahan nafsu makannya yang semakin menurun. Atau teriakan-teriakan aneh saat Kinanti selalu bermimpi di tengah malam yang memohon pertolongan. Seharusnya Ia sadar.

Jantung Kinanti terasa di remas-remas oleh tangan tak kasat mata. Ia tidak tahu apa yang menyebabkan nenek menangis dan meminta maaf padanya. Tanpa ia sadari, air mata ikut mengalir dan perlahan mencoba meremas tangan Darsih yang menggenggamnya.

"Kenapa kau merahasiakannya? Siapa yang sudah melakukan itu padamu?"

Seketika itu juga Kinanti menghentikan tangisannya. Menatap Darsih dengan matanya yang penuh dengan air mata. Jantungnya terasa mencelos, tak percaya. Ia menatap Suci yang juga menangis.

KINANTIWhere stories live. Discover now