Sepuluh

18.6K 1.2K 104
                                    

"Gak! Aku gak mau nikah sama dia, Nek! Dia jahat." Suara penolakan yang begitu lantang di iringi dengan tangisan terdengar tersedu-sedu sampai ke telinga Cinta dan Nami yang duduk di ruang tamu rumah Darsih.

Setelah pernyataan Cinta mengenai pernikahan Kinanti dan Gilang. Kinanti jelas menolaknya mentah-mentah. Tidak dengan mengamuk membabi buta, gadis itu hanya menggeleng. Lalu segera turun dari brangkar dan berajalan seorang diri ke arah pintu, satu-satunya akses keluar dan masuk rumah sakit. Hal itu membuat Suci segera mengambil langkah cepat untuk mengikuti Kinanti begitupun dengan Darsih.

Cinta meminta seorang perawat yang tadi bertugas membantunya untuk menebus resep obat dan vitamin yang ia tujukan untuk Kinanti. Setelahnya, ia menyusul Kinanti bersama ibunya.

Kini Nami dan Cinta di sini, duduk di kursi rotan panjang di ruang tamu rumah Darsih. Mendegar tangisan Kinanti yang terdengar begitu tertekan dengan permintaan Darsih, agar segera menikah dengan Gilang.

Cinta menatap Ibunya, untuk beberapa saat mereka saling bertatapan seolah tengah berdiskusi lewat mata. Setelah Nami mengangguk, Cinta berdiri melangkah menuju kamar Kinanti.

Di atas ranjang kecil itu, Kinanti tengah menangis dalam pelukan Suci, yang Cinta tahu adalah seorang guru yang begitu dekat dengan Kinanti. Dan Darsih duduk di ujung ranjang dengan wajah sendu.

"Kinanti.." panggilnya pelan. Gadis itu masih menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Suci. Terlihat enggan untuk melihatnya. Tetapi suara tangisannya sedikit di redam. Yang mengartikan bahwa gadis itu mendengarkannya.

Cinta memilih mendekat. Berdiri disisi ranjang. Mengusap dengan sayang rambut Kinanti yang kini terlihat berantakan.

"Kakak tahu, kau tidak akan mau menerima pernikahan ini. Tapi bagaimana pun juga, kau harus segera menikah dengan Gilang."

"Aku gak mau!" jeritnya sesenggukan. Menepis tangan Cinta yang masih mengusap kepalanya. Melepaskan pelukannya pada Suci dan menatap Cinta dengan marah. "Bang Gilang ja-hat! Aku ben-ci sama dia! Hiks.." ucapnya terbata akibat sesenggukan.

Cinta merangkum pipi Kinanti dengan ke dua tangannya. Memaksa gadis itu menatapnya. "Kinanti, apakah kau tahu bahwa saat ini kau telah mengandung?" Gadis itu diam. Tidak mengeluarkan suara apapun.

Semua pembicaraan samar-samar yang pernah tertangkap di telinganya berputar ulang di benaknya bagai kepingan kaset rusak. Kata-kata 'Hamil', 'Dia sudah mengandung' yang di ucapkan oleh Nenek, Suci, Nami dan Cinta tak begitu ia pahami siapa yang telah mengandung. Setelah kejadian ia pingsan di rumah Nami, barulah ia mengerti. Bahwa dirinya telah mengandung seorang janin.

"Kalau kau benar sayang sama nenek, seharusnya kau menuruti perkataan nenek. Nenek ingin kau segera dinikahi oleh Gilang. Dengan begitu, dia bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya."

Tidak, ia tidak mau hamil. Ia tidak mau menikah. Tanpa sadar Kinanti meremas baju di bagian perutnya.

Ia tidak mau hamil. Terlebih ia hamil dari perbuatan biadab pria jahat itu. Ia tidak sudi menerima anak pria itu.

Dan, bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan cita-citanya? Apakah benar gadis miskin seperti dirinya tidak boleh memiliki cita-cita yang begitu tinggi?

"Tapi aku masih mau sekolah." Cicitnya lemah. Ia memiliki cita-cita. Jika Ia besar nanti, Kinanti ingin menjadi seorang perancang busana yang sukses. Agar bisa membahagiakan nenek. Memberikan nenek pakaian bagus dengan hasil rancangannya sendiri.

Dulu, sejak ia kecil, nenek sering membelikannya buku gambar. Ia senang menggambar dan melukis. Di mulai sejak ia duduk di kelas empat SD, Kinanti mulai menggambar gaun-gaun cantik seperti yang ia lihat dari acara televisi yang menayangkan program Barbie. Lalu sejak memasuki tahun pertama sekolah menengah pertama, ia mulai gemar membuat rangkaian gaun-gaun cantik. Walau masih amatir, tapi setiap sketsa gaun yang ia hasilkan selalu dikatakan sempurna oleh Suci. Membuatnya bahagia bukan main.

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang