Empat Puluh

26.9K 1.6K 8
                                    

"Kita mau kemana?" Kinanti mengikuti langkah kaki Gilang yang tengah menuruni anak tangga. Dengan menggenggam tangan kanannya.

Ini sudah ke lima kali ia bertanya sejak Gilang memintanya mandi dan berpakaian rapih di jam satu siang pada hari minggu seperti ini. Bahkan pria itu yang memilihkan gaun berbahan sifon warna babyblue dengan panjang selutut dan lengan sepanjang siku. Namun jawaban pria itu tetap sama.

"Rahasia." Kinanti hanya menghela napas panjang. Memperhatikan pakaian pria itu yang saat ini memakai kemeja lengan pendek berwarna senada dengannya dan celana jeans warna hitam. Bahkan mereka juga menggunakan sepatu kets Adidas dengan warna hitam senada dengan model yang sama, yang di beli Gilang beberapa hari lalu.

Sampai di ruang keluarga. Kinanti melihat Darsih juga sudah berpakaian rapih. Dengan atasan berbahan sifon putih lengan panjang dan rok panjang batik. Di lengkapi dengan jilbab hitamnya.

"Sudah siap, Nek?" Gilang bertanya pada Darsih. Wanita itu mengangguk dengan senyum di bibirnya.

"Kaianna, mana? Mama dan Papa, kemana, Kak?" Beralih pada kakaknya yang masih serius memandangi layar Tv.

"Kaianna di bawa pergi ke rumah Tante Rina, sama Mama dan Papa. Mau beli bunga apa gitu, Kakak lupa." Jawab Citra menyebut nama teman ibunya yang memiliki toko bunga. Rumahnya hanya berjarak dua ratus meter dari rumah mereka.

"Tidak apa-apa nih, di tinggal?" Pasalnya jika mereka pergi, di rumah itu hanya ada Citra dan Cinta. Selain dua orang satpam yang berjaga di gerbang.

"Iya. Paling juga Mama sama Papa sebentar lagi pulang." Citra berbalik menatap mereka dan mengacungkan jempol pada adiknya.

"Kaianna, tidak ikut kita?" Kinanti mengerutkan dahinya.

"Tidak. Karena itu, tadi aku memintamu untuk pompa Asi."

Kaianna mendapatkan Asi eklusif darinya. Ia jarang memompa Asi jika tidak di perlukan, bayinya itu selalu menolak jika di beri Asi melalui botol susu yang sengaja di pompa saat bersamanya. Kinanti hanya memompa Asi jika Kaianna di ajak pergi jalan-jalan bersama Nami dan Iskandar. Seperti saat ini contohnya. Tapi begitu, tetap saja Kaianna menolak dan memilih menangis dengan keras. Membuat Nami terpaksa harus segera memulangkan bayi itu pada ibunya.

"Memangnya kita mau kemana?"

"Rahasia, sayang." Sambil mengusap gemas puncak kepala istrinya.

"Kalau gitu kami pergi dulu ya, Kak. Jaga rumah."

"Iya, bawel." Gilang tertawa dan segera menarik tangan istrinya. Dengan Darsih yang menggeleng pelan dan tersenyum mengikuti langkah mereka dari belakang.

* * *


Kinanti tidak tahu mereka akan kemana. Ia sudah lelah bertanya. Bahkan neneknya sendiri juga tidak mau menjawab. Sudah lebih dua jam mereka berkendara di jalanan yang tidak pernah ia lalui. Daerah itu terasa asing baginya.

"Aku rindu Kaianna." Memikirkan puterinya itu sedang melalukan apa? Atau apakah sedang menangis mencarinya? Kelaparan? Ia tidak tahu.

Gilang menoleh sebentar untuk mengusap kepala istrinya dengan sayang. "Aku juga. Sebentar lagi kita sampai dan setelah itu kita segera pulang." Mengambil tangan kanan istrinya untuk ia genggam dan membawanya ke atas pahanya.

"Tidak akan lama kan?"

"Tidak. Cerewet!" Melepaskan genggaman mereka untuk mencubit pipi istrinya.

"Aku tidak cerewet!" Bantahnya mengambil tangan Gilang yang mencubit pipinya, lalu balas mencubit punggung tangan pria itu.

Pria itu mengaduh dan tertawa lepas. Membuat Darsih yang duduk di jok belakang ikut tertawa melihat tingkah pasangan suami istri muda itu.

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang