Tiga Puluh

25.5K 1.8K 8
                                    

Di dalam ruang perawatan itu, suasana seketika senyap. Gilang sampai bisa mendengar detak jantungnya bertalu cepat. Ia pikir, Kinanti akan kembali histeris. Tapi tidak di sangka, sikap tubuh gadis itu kembali santai dan seolah menganggabnya tak pernah ada.

Gadis itu hanya menatap wajah Darsih dan Nami secara bergantian. Lalu tatapannya beralih lurus ke atas. Menatap langit-langit kamar.

Jujur, hatinya tentu sakit melihat sikap pengabaian Kinanti. Tapi Gilang berusaha menepis rasa sakit itu. Asalkan ia bisa melihat wajah Kinanti dari jarak dekat seperti ini.

"Jangan lakukan itu lagi, Kinanti." Ujar Darsih. Perlahan isak tangis Darsih kembali terdengar. Kinanti seolah tidak mendengar dan masih terus menatap lurus pada langit-langit ruangan.

"Nenek bisa mati, melihat hal yang sama terjadi berulang kali." Darsih sesenggukan. Tak berhenti mengelus rambut Kinanti sementara cucunya seolah tak perduli dengan orang di sekitarnya.

"Mbak, sudah. Kasihan Kinanti." Bujuk Nami meremas pelan bahu Darsih. Perlahan-lahan, Darsih mengentikan tangisnya. Walau masih menyisakan sesenggukan.

"Kita pulang, ya?" Bujuk Darsih. Kinanti masih bergeming. "Kinanti, kita pulang ke rumah, ya?" Ulangnya lagi. Gadis itu tidak berkutik sama sekali. Darsih menghela napas panjang melihat sikap abai Kinanti.

Namun yang tidak di sangka-sangka, kedua mata itu terpejam. Dari sudut matanya keluar setitik air mata. Bersamaan dengan gelengan pelan sebagai penolakan ajakan Darsih.

Kinanti tidak mau kembali lagi ke sana. Ia tidak mau kembali menjadi topik utama pembahasan gosip-gosip tetangga yang tidak pernah berhenti menggunjingnya.

Sadar bahwa keengganan Kinanti pulang ke rumahnya karena keusilan para tetangganya. Gilang memilih bersuara, "Kinanti pulang ke rumah kita, Ma." Ujarnya.

Nami menoleh menatap puteranya yang tidak bergerak sama sekali dari pintu. Kembali menatap Kinanti yang masih tak perduli. "Kita pulang ke rumah Mama, ya?" Bujuknya. Gadis itu menggeleng pelan, lagi.

"Kinanti pulang ke rumah kita bersama Nek Darsih." Putus Gilang. Melihat gelengan Kinanti, Gilang kembali menambahkan, "Kinanti akan menempati kamarku bersama Nek Darsih, aku akan menempati kamar tamu."

* * *


Kinanti benci menjadi orang lemah. Yang hanya bisa menurut apapun yang orang lain perintahkan. Ia juga tidak bisa menjadi seorang pemberontak. Menolak semua yang ia tahu adalah kebaikan yang orang lain tawarkan.

Rasanya tidak mungkin ia kembali ke rumah Nami. Rumah yang selalu membawa trauma dan kesakitan untuknya. Beberapa bulan tinggal di sana, sudah cukup membuat fisik dan batinnya tersiksa.

Ia juga tidak mau kembali ke rumah neneknya. Tempat pertama kali ia di lahirkan. Tempat yang sudah melindunginya dari panas dan dinginnya cuaca. Tempat seharusnya ia pulang dan memberikan rasa aman dan nyaman, namun kini tak lagi mampu memberikan hal itu.

Kinanti tidak mau kembali ke rumah itu, di mana semua orang terus menggunjingkannya tanpa henti. Membuat telinganya panas dan terbakar. Ia tidak akan sanggup jika terus berada di sana, atau ia akan berakhir dengan hal serupa yang baru saja ia lakukan. Kelakuan bodoh tak masuk akal yang membuatnya sangat menyesal.

Kinanti teramat sangat menyesali perbuatannya itu. Percobaan bunuh diri yang kini membuatnya semakin merasa bodoh. Ia malu pada neneknya yang sudah lebih banyak menelan pahit manisnya kehidupan, namun masih kuat berdiri dengan kedua kakinya sendiri tanpa perduli cemoohan orang. Bahkan sampai seminggu kejadian itu berlalu, Kinanti belum berani menatap kedua mata neneknya saat berbicara.

KINANTIजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें