Tiga Puluh Tiga

23.1K 1.7K 9
                                    

"Dek, sini!" Panggil Citra seraya melambaikan tangan.

Di meja makan sudah ada Gilang dan kedua kakaknya tengah menikmati teh bersama. Kinanti tidak tahu kapan pria itu datang. Atau mungkin ketidaktahuannya karena ia yang terlalu lama di dalam kamar untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian setelah habis berenang. Juga mungkin karena jalannya yang memang semakin melambat sejak perutnya semakin membesar.

Kinanti membalas sapaan Citra sebentar lalu meneruskan langkahnya ke meja pantry untuk mengambil segelas air hangat untuk dirinya.

Sejak kandungannya memasuki usia sembilan bulan, Cinta meminta Kinanti agar semakin rutin melakukan kegiatan olahraga. Salah satunya adalah berenang. Yang katanya akan membuat proses bersalin lebih mudah.

Karena tidak memiliki banyak pekerjaan, Kinanti memilih melakukan hal yang di haruskan oleh Cinta tak lama setelah menyelesaikan sarapan. Dalam satu minggu terakhir ini, sudah lima kali ia berenang. Dan akhir-akhir ini, perutnya juga semakin sering terasa kram.

Kinanti tidak yakin, apakah ia akan siap menerima bayi ini nanti ketika lahir? Apakah ia siap merawat bayi ini dengan latar belakang yang ia miliki? Ia takut. Ia masih belum mau menerima kenyataan bahwa di usianya yang masih begitu muda, sudah akan memiliki anak dari hasil yang tak pernah ia inginkan.

Walau sudah berusaha menerima Gilang sebagai teman. Tapi nyatanya Kinanti masih memiliki trauma bekas perlakuan buruk yang pernah di berikan Gilang padanya.

"Ada apa?" Gilang sudah berdiri di sampingnya. Menggenggam tangan kirinya yang terletak di meja pantry.

Pelan, Kinanti menggeleng seraya menarik tangannya dari genggaman pria itu. Mengalihkan tangannya ke gelas yang sejak tadi masih tergenggam di tangan kanan. Lalu membawa gelas itu ke bibirnya. Meneguk isinya hingga habis tak tersisa.

Gilang tersenyum kecut, saat menyadari Kinanti sengaja melepaskan genggamannya. Gadis itu masih belum terbiasa, ucapnya dalam hati.

"Kinanti, sini, dong!" Citra kembali memanggil saat melihat suami istri muda itu hanya saling diam.

Gilang mengulurkan tangannya untuk membantu Kinanti turun dari kursi bar. Kinanti tak menolak. Ia menerima genggaman Gilang dan membiarkan pria itu terus menggenggamnya sampai ke kursi meja makan. Kinanti hanya tidak terbiasa saat pria itu tiba-tiba menyentuhnya.

"Ini, untukmu." Citra memberikan gawai yang sudah ia setting dan mendorong kotak ponsel baru ke hadapan Kinanti yang duduk di sampingnya. Sementara Gilang duduk di samping Kinanti.

Kinanti menggeleng pelan. Meletakkan gawai ke atas kotaknya, lalu mendorong pelan kotak itu kembali ke Citra. "Tidak, Kak. Aku tidak tahu cara memakainya." Akunya jujur.

Cinta tersenyum miris. Di luaran sana sudah banyak anak seusia Kinanti bahkan balita sekalipun yang lancar menggunakan gadget bahkan lihai bermain sosial media di dunia maya. Tapi ini, Kinanti dengan polosnya mengatakan ia tidak pandai menggunakan gadget terbaru itu.

"Kau harus menerimanya." Citra kembali mendorong pemberiannya ke hadapan Kinanti.

"Terima saja. Aku bisa mengajarkanmu cara memakainya." Bujuk Gilang.

Gadis itu kembali menggeleng. "Tapi, akukan sudah punya ponsel. Aku tidak bisa menerimanya." Kinanti hendak mendorong kembali kotak itu, namun segera di tahan oleh Citra yang meletakkan tangannya di atas tangan Kinanti.

"Tolong terima ini, Dek. Kakak sudah janji sama diri kakak, akan membelikanmu ponsel baru. Kalau kau tidak menerimanya juga, rasanya Kakak sedih sekali." Citra memasang raut sedih. Kinanti yang tidak bisa melihat orang di sekitarnya sedih, membuatnya ragu.

KINANTIWhere stories live. Discover now