Dua Puluh Enam

21.9K 1.8K 50
                                    

Melalui jendela lantai lima yang tertutup rapat, senja mulai terlihat saat matahari telah condong ke arah barat. Menampilkan pemandangan cantik di langit sana dengan syafak merah yang indah. Di percantik dengan pemandangan lampu-lampu di bawah sana yang menerangi pemandangan kota.

Setelah keadaan panik semalam, masih dalam keadaan tidak sadarkan diri setelah di tangani oleh dokter dan suster-suster profesional, kandungan Kinanti segera di periksa dan di USG oleh tim medis. Dokter menjelaskan bahwa janinnya masih sehat dan kuat, detak jantung normal bahkan janin yang masih menyembunyikan jenis kelaminnya itu sedang bergerak-gerak di rahim ibunya yang terlihat jelas dari layar monitor USG. Mendengar kabar itu, semua yang berada di sana menunggu Kinanti sadar menghela napas lega. Terlebih Kinanti juga baik-baik saja. Gadis itu hanya terlalu terkejut dan lemah.

Namun hingga detik ini, sudah nyaris sembilan belas jam Kinanti belum juga sadarkan diri. Semalaman, calon ibu muda itu masih berada di ruang IGD. Lalu pagi tadi di pindah ke ruang rawat inap VIP yang di minta oleh Iskandar. Dokter mengatakan telah menambahkan obat tidur dalam dosis yang aman untuk Kinanti, hingga setelah reaksi obatnya habis, Kinanti akan sadar dengan sendirinya.

Darsih mengusap air matanya. Ia sudah lelah menangis, tapi sepertinya air mata itu tak mau berhenti mengalir bahkan tidak juga habis. Walau hanya sesekali keluar saat ia memikirkan keadaan anggota keluarga satu-satunya itu.

Sekitar pukul tujuh pagi tadi, betapa terkejutnya Darsih saat mendapat telepon dari Nami yang mengatakan Kinanti sedang di rawat di rumah sakit. Segala pemikiran buruk berputar di benaknya membuat tubuhnya lemah seketika. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghubungi Suci. Memohon bantuan gadis itu untuk menemaninya melihat keadaan Kinanti.

Sejujurnya, Darsih tak ingin lagi merepotkan Suci. Sudah begitu banyak kebaikan Suci yang telah membantu mereka. Ia merasa malu jika selalu meminta bantuan gadis itu lagi. Tapi pagi itu ia tidak bisa berpikir jernih saat pikirannya terus menerus mencemaskan cucunya. Dan satu-satunya orang yang terpikirkan selain Kinanti hanya Suci.

Darsih berdiri. Mendekati Kinanti yang masih belum sadar. Mengusap-usap rambutnya dengan sayang.

"Nenek keluar sebentar, ya?" Darsih meminta izin pada Suci yang sejak pagi tidak lelah menemani Kinanti yang masih belum sadarkan diri. Gadis itu baru saja selesai menelpon ibunya yang terus bertanya keadaan Kinanti.

"Iya, Nek. Saya sudah memesan makanan. Nanti setelah makanannya datang, kita makan bersama, ya?" Darsih hanya mengangguk pelan dan berterima kasih. Lalu keluar dari ruang rawat itu.

Ia tidak bisa berlama-lama di sana. Rasanya semua masa lalu seakan terulang kembali pada Kinanti. Membuat hatinya sakit dan selalu ingin menangis.

Begitu pintu di belakangnya tertutup, Gilanglah orang pertama yang tertangkap di indra penglihatannya. Tatapan mereka terkunci untuk beberapa saat sebelum Darsih membuang pandangan, muak menatapnya. Ia hanya tidak menyangka, suami yang baru empat bulan di nikahi Kinanti itu masih bertahan di tempatnya.

Satu jam setelah ia dan Suci berada di ruang rawat inap Kinanti. Ia masih belum mengetahui apa penyebab cucunya bisa tidak sadarkan diri. Setelah memaksa Nami berulang-ulang, tahulah ia bahwa Kinanti mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Pantas saja ada jejak-jejak bekas tamparan di kedua pipi dan bekas cekikan yang tertinggal di leher Kinanti. Bukti-bukti kekerasan yang di alami Kinanti tergambar jelas di kulitnya yang pucat, terlihat memar dan membiru. Juga sudut bibir kirinya yang terluka. Ia tidak pernah menduga, betapa ringannya tangan Gilang pada Kinanti.

Melihat siang tadi pria itu datang bersama Nami, rasanya Darsih ingin menampar dan membalas semua perlakuan pria itu terhadap cucunya. Namun, lagi-lagi ia tidak bisa. Ia tidak bisa membalas ataupun berlaku kasar pada orang yang sudah jelas penyebab sakit hatinya.

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang