Dua Puluh Lima

21.6K 1.7K 33
                                    

Mobil mewah itu berhenti di depan pelataran teras rumah Iskandar, Romian segera keluar dari mobil dan membiarkan supirnya memarkirkan mobil.

Ia sedang merindukan cucu lelakinya walau belum ada dua puluh empat jam dari terakhir mereka bertemu. Sejak pagi tadi hingga jam sudah menunjuk ke angka sebelas siang seperti ini, cucu kesayangannya itu tidak menjawab dan membalas panggilannya sekali pun. Membuat rasa cemas menyesaki dadanya.

Saat berkunjung, Romian tidak suka menunggu di bukakan pintu. Ia lebih memilih membuka pintu rumah itu dengan kunci ganda yang ia miliki. Begitu pula saat ia berkunjung ke rumah anak-anaknya yang lain. Karena itulah ia memiliki banyak anak kunci cadangan untuk di setiap rumah anak-anaknya.

Saat berada di ruang tamu, ada perasaan mengganjal saat ia merasakan suasana sepi seperti saat ini. Biasanya, di saat ia sedang berkunjung, Romian pasti selalu mendengar suara-suara percakapan antara pembantu rumah tangga di rumah itu atau Nami atau juga si gadis kampung itu. Tapi hal biasa seperti itu tak ia temukan kali ini. Rumah itu terasa sangat kosong.

"Gilang!" Serunya. Romian melangkah menuju ke dapur. Tak mendapati siapapun di sana, ia memilih berjalan menuju pintu keluar.

Keanehan ia dapati saat satu-satunya pintu akses keluar masuk menuju area belakang masih terkunci saat ketika ia memutar knobnya.

Wanita itu mengambil ponselnya dari dalam tas. Sekali lagi mencoba menghubungi nomor ponsel Gilang sambil berjalan menaiki anak tangga menuju ke lantai atas. Tapi ternyata nomor yang ia tuju sudah tidak aktif. Lantas ia segera menyimpan ponsel ke dalam tas.

Begitu kakinya mencapai lantai atas, hal pertama yang ia lihat adalah pintu kamar Cinta yang terbuka. Romian tentu merasa aneh, terlebih pintu itu sangat jarang terbuka lebar seperti ini. Berjalan mendekat, melihat seisi rungan itu dan tak mendapati Cinta berada di sana. Dahinya berkerut tak suka saat melihat tempat tidur Cinta yang berantakan. Selimut yang tersingkap dan terjuntai sampai ke lantai. Seolah pemilik kamar itu keluar dari sana dengan terburu-buru.

Romian mendengkus. "Punya menantu, tapi tidak bisa mengajari anak gadisnya berbuat rapih. Tidak becus." Ia mengomeli Nami yang saat ini tidak tahu keberadaannya. Memilih meninggalkan kamar itu menuju ke kamar Gilang.

Betapa terkejutnya Romian mendapati Gilang meringkuk di lantai yang dingin di dekat kaki sofa. "Gilang?" Panggilnya panik dan segera mendekat, bersimpuh di belakang tubuh cucunya yang membelakanginya.

"Apa yang terjadi denganmu?" Romian membalik tubuh itu. Matanya terbelalak saat melihat wajah Gilang terdapat bekas-bekas darah kering juga kedua tangan Gilang terdapat darah yang juga sudah mengering. Dan di lantai yang tadi Gilang sentuh, ada bekas darah tergenang dan sekarang telah mengering.

"Mami?" Gilang tak percaya dengan penglihatannya. Ia baru terbangun setelah semalaman menangis dan menyesali perbuatannya.

"Darah siapa itu?" Romian bertanya panik, membantu Gilang duduk, pria itu masih terlihat linglung dan belum menyadari sekitarnya.

Gilang menunduk mengikuti arah tatapan Romian yang tertuju pada kedua tangannya. Seketika itu juga ingatan kejadian malam tadi kembali menghantamnya. Pria itu menoleh cepat melihat darah yang semalam masih tergenang dan kini telah mengering. Ia tidur di samping darah bayinya.

Gilang menatap Romian dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. "Kinanti.. keguguran.." gumamnya lirih kembali menunduk menatap kedua tangannya yang terdapat noda darah yang telah mengering. Bahkan bibirnya ikut bergetar saat menjelaskan kondisi terakhir Kinanti.

Dari raut wajahnya yang tadi sempat terkejut mendapati Gilang yang berdarah-darah, kini berubah tersenyum kemenangan. Ia membantu Gilang berdiri dan membawanya duduk di pinggir ranjang.

KINANTIWhere stories live. Discover now