Dua puluh Tiga

18.4K 1.4K 8
                                    

Nami dan Iskandar terlihat begitu lahap menikmati menu makan malamnya, begitupun dengan kedua puteri mereka. Sementara Kinanti sudah lebih dulu selesai menikmati makanannya yang selalu berporsi sedikit. Bukan karena ia malu, melainkan karena ia sudah terbiasa makan dengan porsi yang sedikit.

Nami selalu memprotes tiap kali melihat porsi makan Kinanti yang tidak pernah bertambah. Ibu dari tiga orang anak itu selalu mengambilkan dan memberi Kinanti porsi dua kali lebih banyak dari porsi makan biasanya. Tapi tetap saja, yang sanggup di habiskan Kinanti hanya sesuai dengan porsinya seperti biasa. Dan sisa makanan itu akan terbuang percuma di keranjang sampah.

Kinanti mengambil air putih yang sudah tersedia di atas meja bersama dengan satu piring kecil berisi pil-pil obat dan vitamin untuk kandungannya yang disediakan oleh Citra. Ia selalu meminum pil-pil obat itu dengan di awasi oleh mata-mata jeli Nami atau salah satu kakak iparnya yang selalu memastikannya menelan obat-obat itu. Karena biasanya, jika tidak ada yang mengawasinya, Kinanti akan mengabaikan obat-obatnya bahkan tidak menyentuhnya sama sekali.

Nami menangkap pergerakan gelisah Kinanti yang sering meliriknya. Setelah selesai makan, Nami mengambil buah apel untuk ia kupas kulitnya dan membelah-belahnya, lalu ia berikan kepada menantunya yang cantik. Kinanti berterima kasih dan memakan sepotong apel dengan lamat-lamat sesekali juga ia kembali melirik Nami.

Saat melihat suaminya telah selesai makan, di ikuti oleh kedua puterinya. Nami bertanya pada Kinanti yang sejak tadi terlihat tidak sabar untuk segera berbicara. Karena peraturan tak tertulis di atas meja makan yang Iskandar buat berupa larangan berbicara di saat makan dan tidak boleh meninggalkan meja makan sebelum kepala keluarga menyelesaikan makan terlebih dulu. Itu akan di anggap tidak sopan.

"Apakah ada yang ingin kau bicarakan?" Nami mengambil sebuah jeruk dan mengupas kulitnya, lalu ia berikan kepada suaminya sebagai buah pencuci mulut.

Iskandar menerima jeruk yang telah di kupas dengan mata tertuju pada Kinanti. Cinta memperhatikan sekilas Citra yang bergerak menuju lemari pendingin, mengeluarkan sepiring pepaya yang telah di kupas dan di belah-belah memanjang. Lalu memotongnya menjadi kotak-kotak.

Gadis itu membawa satu piring yang berisikan buah pepaya yang telah ia potong-potong, ke meja makan untuk ia nikmati bersama keluarganya.

Seakan baru mengingat sesuatu, tiba-tiba Cinta berseru dan menatap Kinanti. "Eh! Besok jadwal pemeriksaan kandunganmu ya, Dek?"

Kinanti yang di tanya seperti itu tak tahu harus menjawab apa. Ia tidak tahu dan tidak pernah mau tahu mengenai kandungannya jika tidak karena terpaksa harus mengikuti semua perkataan Nami dan kedua puterinya yang begitu terlihat sangat berharap dan menantikan kehadiran bayi itu.

"Oh, iya! Besok sudah masuk bulan ke tujuh, ya?" Nami menyambut dengan semangat pembicaraan itu. Ia tidak sabar menanti kehadiran cucu pertamanya. Cinta mengangguk.

"Berarti besok USG lagi? Gak sabar deh, liat wajah cucu Mama lagi." Ujar Nami dengan tersenyum bahagia. Membuat suami dan kedua puterinya ikut tersenyum. Berbeda dengan Kinanti yang hanya terdiam dan menunduk sambil meremas kedua tangannya di atas kedua pahanya.

"Bahagia banget kelihatannya." Iskandar pura-pura mencibir istrinya.

Nami menoleh dengan senyuman lebar. "Bahagia dong! Inikan cucu pertamaku, Pa." Iskandar tertawa pelan seraya mengusap rambut Nami dengan sayang, tanpa rasa canggung sedikitpun karena di perhatikan oleh anak-anak mereka.

"Jadi, kapan kita buat acara syukuran tujuh bulanan Kinanti, Ma?" Citra menimpali.

Nami terlihat berpikir sebentar. "Ini hari apa?"

"Selasa, Ma."

"Kalau begitu hari minggu aja."

"Minggu ini, Ma?" Citra memastikan. Nami mengangguk. Lalu menoleh pada Kakaknya yang duduk di sampingnya. "Emang bisa gitu, Kak? Belum lagi mendekorasi ruangan, belum lagi masak-masaknya."

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang