49. Kakak?

88.5K 6.6K 708
                                    

"Mamah?"

"A-aish?" kaget seorang paruh baya yang merupakan ibu dari Aish.

"Mamah kenapa ad--Papah? Ikhwan? K-kok kalian-- Kenapa ada di sini?" bingung Aish. Otaknya blank, tak mampu berpikir apapun saat ini. Nafasnya pun seperti terhambat. Tak hanya itu, kepalanya juga terasa pening.

Aina, Mama Aish berlari menghampiri Aish. "Maafin Mamah, sayang. Maafin Mamah," isak beliau sambil memeluk Aish erat dengan tangisan yang masih terdengar.

Aish melepas paksa pelukan sang Mama namun tidak kasar. "Jelasin sama Aish!" kata Aish tegas.

"Om, T-tante Mamah Aish?" tanya Fano tak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Nak, Papah mohon kamu jangan emosi, Papah akan jelaskan nanti setelah kakak kamu dimakamkan," pinta Daffa, Papa Aish tak menjawab pertanyaan Fano. Sudah jelas kan?

Aish menggeleng tak percaya mendengar apa yang sang papa katakan. "K-kakak? Papah jelasin sekarang!" teriak Aish histeris. Rangga pun merangkul Aish menenangkan.

"Tenang. Pacar Rangga nggak boleh nangis," bisik Rangga menenangkan.

"Papah! Jelasin sama Aish," rengek Aish tak memedulikan perkataan Rangga. Mama Aish datang mendekap Aish. Aish dengan cepat melepaskan pelukan sang Mama dan menatapnya. "Mah, jelasin sama Aish. Aish mohon." Mamanya menggeleng tak sanggup.

"Mamah, Aish pingin tahu!" teriak Aish frustrasi. Tangisannya semakin keras.

"Kak, lo nggak sopan teriak-teriak sama Mamah," desis Ikhwan geram. Rahangnya mengeras. Aish lalu berjalan menghampiri Ikhwan.

"Jelasin ini semua sama gue, Wan. Jelasin," tangis Aish memohon sambil menggenggam tangan Ikhwan. Ikhwan dengan cepat menepisnya.

"Nanti," jawab Ikhwan datar.

Aish menjambak rambutnya kesal. Dadanya sesak, seperti ada beban yang mengimpitnya. Ia benar-benar kebingungan untuk saat ini. Ia sudah terlanjur penasaran, namun justru harus tertunda.

Aish pun menghampiri sang Papah dan langsung memeluk beliau erat. "Papah, Aish mohon jelasin ini semua sama Aish! Aish bingung, Pah, Aish nggak paham. Aish mau takziah ke pacarnya Fano t-tapi... Hiks, Papah."

"Sayang, Papah jelasin pelan-pelan, ya. Yang meninggal itu kakak kamu, namanya Kak Laura," jelas beliau dengan suara parau.

"Mana ada Aish punya kakak? Papah nggak usah becanda," kata Aish tidak terima sambil mengurai pelukan mereka.

"Kak, lo--"

"Eh, lo diam ya?! Lo nggak usah ngomong apapun sama gue. Kata-kata lo itu cuma bisa nyakitin hati gue! Cukup kemarin lo sakiti gue, untuk saat ini mending lo diam! Lo tahu semua ini, sedangkan gue?! Lo nggak merasa jadi gue, Wan. Jadi, stop bicara!" kata Aish tegas dan agak cepat.

"Aish ayo ikut Papah ke belakang," ajak Daffa lembut. Aish pun dituntun oleh sang papa menuju ke belakang rumah.

"Fan, kenapa lo nggak bilang kalau pacar lo itu Laura, teman seangkatan kita?" tanya Rino dengan nada datar. Rangga mengernyitkan dahi bingung.

"Seangkatan?" tanya Rangga heran.

"Orang yang pernah lo bilang cabe-cabean," jawab Fano datar. Mata Rangga memicing. Kenapa bisa Fano pacaran dengan orang seperti itu.

"Gue nggak tahu," ucap Rangga. Ia benar-benar tidak tahu jika orang yang meninggal di hadapannya ini adalah orang yang mirip dengan Aish waktu itu.

"Kenapa nggak ada teman kita yang takziah?" Kini ganti Akbar yang bertanya.

Fano menggeleng, “Dia yang minta rahasiain ini," jawab Fano dengan nada tak semangat. Siapa juga yang semangat jika orang yang dicintai meninggalkannya untuk selama-lamanya.

"Yang sabar, Fan," kata Akbar sambil menepuk punggung Fano. Ia tahu Fano sedang berada di titik terlemah dalam hidupnya.

"Thanks," jawab Fano sambil menghapus air matanya yang menetes.

"Terus Aryn?" tanya Akbar lagi.

"Airyn Laura Harmawan."

==》♡《==

"Cepat cerita!" kata Aish datar.

"Yang meninggal itu anak kandung Papah. Dia kakak kamu, namanya Laura." Langsung saja Daffa mengatakan itu karena memang pokok yang harus diketahui Aish adalah, Laura itu kakak Aish.

"Pah, Aish nggak mungkin punya kakak selain Kak Revy, kan? Kalau dia memang anak papa, bagaimana bisa Aish nggak tahu? Gimana bisa dia nggak sama kita? Pa, Aish lagi bingung jangan ditam—“

"Sayang, dengar Papah dulu. Papah bakal cerita banyak setelah Kak Laura dimakamkan, ya?" kata Papa lembut. Tangannya mengelus rambut Aish pelan. Aish sendiri masih terisak dan mengacak rambutnya frustrasi.

"Laura? Kakak? Kenapa gue goblok banget nggak tahu kalo gue punya kakak? Argh!" gumam Aish benar-benar frustrasi. Tubuhnya merosot ke bawah.

"Jangan salahin diri sendiri, sayang," hibur Papa.

"Iya, karena Aish harus salahin Papah Mamah. Hiks, Aish nggak tahu, sedangkan semua orang lain udah tahu. Aish merasa jadi adik yang jahat tahu nggak? Aish itu sebenarnya dianggap apa enggak sih sama kalian?" sentak Aish pelan. Ia pun bangkit, hendak pergi menenangkan diri.

Saat ia melewati Rangga, Rangga langsung mencekal tangan Aish. "Mau ke mana?"

"Gue butuh ketenangan. Lepas!" tangis Aish sambil menghapus air matanya kasar.

"Nak, Mamah mohon jangan pergi, sayang. Temani Mamah di sini, Mamah butuh kamu," isak Aina memohon.

"Aish nggak bisa. Aish butuh waktu buat menenangkan diri," kata Aish dingin. Saat ingin meninggalkan tempat itu, tangannya kembali dicekal, namun kini oleh Ikhwan.

"Mamah butuh lo, Kak, tolong hargai Mamah," mohon Ikhwan tulus. Aish tersenyum miris lalu melepaskan cekalan tangan Ikhwan kasar.

"Hargai? Lo aja nggak pernah hargai gue. Kalian semua nggak ada yang hargai Aish. Kalian tahu, Aish merasa jadi adik sialan yang nggak tahu punya kakak dan sayangnya lagi dia udah meninggal. Itu yang namanya menghargai?" teriak Aish emosi.

"Aish?! Jangan teriak seperti itu, Nak! Keluarga kamu sedang berduka, semua sedang bersedih, dan kamu? Kamu malah dengan santainya menyalahkan kita semua. Bukankah Papah sudah bilang untuk bersabar tunggu Papah cerita? Nanti kita bakal cerita, kamu tenang!" bentak Papa.

"Oh, jadi Papah salahin Aish yang nggak tahu apapun, iya? Ini juga karena kalian yang buat Aish nggak bisa merasakan kehilangan seorang kakak! Kenapa bisa Aish yang disalahkan? Hiks," kata Aish meluapkan semua emosinya. Ia pun berlari keluar rumah tersebut.

Banyak pasang mata yang menatapnya, namun tak ia pedulikan. Suara bisik-bisik juga ia dengar. Namun, ia tetap tak memedulikan itu.

"Ai, tunggu!" teriak Rangga mengejar Aish. Aish menulikan pendengarannya, lalu segera menghentikan taksi yang kebetulan lewat di situ. Ia memutuskan untuk pergi ke tempat yang pernah ditunjukkan oleh Rangga.

Danau indah dengan rumah pohon di sana.

Badgirl, Badboy, and Baby Boy✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now