🦋 09 || Sepatu

796 112 21
                                    

"Aruna!"

"Demi anak Mama yang manjanya melebihi Acha mariposa, cepet bangun!"

Aruna menggeliat. Sedangkan bisa ia tebak Mama tercintanya kini tengah berusaha membangunkan Aruna pagi ini. "Apasih, Ma? Masih pagi buta gini."

"Bangun, kamu! Inget enggak sekarang hari apa? Hari kemerdekaan! Kamu sendiri lho, yang minta dibangunin subuh-subuh," omel Tania -- Mama Aruna.

Aruna bangun. Matanya terbuka lebar walaupun sebenarnya gadis itu masih benar-benar mengantuk. Piyama kartun anak SD menjadi pakaian yang Aruna gunakan. Lebay memang, tapi gadis itu tetap menyukainya.

"Kamu siapa?" Mata gadis itu membulat kaget. Sosok wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya lelah. Mau sampai kapan Putrinya menjadi pelupa seperti ini?

"Tania Haleara Zebriatha," jawab Tania.

"Ih, ngada-ngada! Tania itu nama Mama Arun tau!" tolak Aruna. Gadis itu sedikit tidak terima dengan jawaban Tania. Pasalnya, nama wanita ini benar-benar mirip dengan nama Mamanya.

"Ya, emang! Saya Mama kamu Aruna!" Kepalang kesal, Tania langsung pergi dari kamar Aruna. Menutup pintu kamar gadisnya dengan sedikit keras. Sabar, ya Mama Arun!

"Oh, iya. Itukan Mama Aruna," gumam gadis itu bego. Ya, katakanlah Aruna pikun atau semacamnya. Karna, gadis itu tidak pernah mengada-ngada. Bahkan ia pernah lupa siapa namanya sendiri. Aruna ... memang payah.

Tatapan Aruna berpindah ke atas. Ia melihat dinding kamarnya yang terpaku jam ucul nan lucu kesukaan Aruna. Ah, semua harus serba unyu.

Jam 04 : 52. Ini masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah. Bahkan, bisa ia jamin bahwa penjaga gerbang sekolah pun kini masih mengorok di tempat tidurnya. Ah, memang aneh. Atau bahkan tidak adil. Seharusnya, mereka semua bangun cukup pagi untuk mempersiapkan hari kemerdekaan negaranya.

Namun, bukannya segera bergegas, Aruna malah kembali berselimut di atas kasurnya. Ya, gadis itu tidak bisa melawan kantuknya untuk pagi ini. Aruna, kembali tertidur.

***

"Muka lo makin hari makin kusem aja! Noh liat si Udin, senyum terus walau tiap hari dijadiin bahan bullyan!" Pagi buta, Mocca sudah mengomel tak jelas pada teman sebangkunya. Aruna hanya mengiyakan, masih terlalu pagi untuk berpikir baginya.

"Woi, Usep! Liat Kak Aliya gak?" Aruna ngibrit secepat kilat. Meninggalkan Mocca yang kini melotot tak terima padanya. Hehe, dadah Mocca!

"Aliya? Dia tadi keluar sama Kak Lintang. Katanya, sih. Mau beli kerupuk buat lomba makan kerupuk," jawab Usep.

"Ooohh! Oceee, makacii yup Usep!" Aruna kembali berlari. Ia dengan sengaja menyeret tas miliknya dengan girang. Berlarian ke sana ke sini melewati lorong sekolah yang masih sepi pagi ini.

Bisa Aruna lihat, beberapa anak OSIS sudah mulai turun ke lapangan. Menyiapkan beberapa yang harus dilakukan untuk lomba Agustusan hari ini. Di sana, Aruna bisa melihat Laksa sedang membawa dua karung beras yang cukup bersih. Ah, pemandangan yang bagus. Ayo berburu cogan!

"Kak Laksa!" sapa Aruna sembari tersenyum manis.

Laksa menoleh, tanpa menjawab sapaan Aruna, cowok itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan, tentu saja itu cukup membuat Aruna muak. "Kak, Kemaren ada yang cuekin Aruna, besoknya mati kelindes kecoa."

Laksa tetap fokus pada pekerjaanya. Beberapa anak OSIS yang lain pun kini turut melihat kejadian itu. Bahkan, ada yang sampai berbisik-bisik melihat seberapa datarnya Laksa pada Aruna.

ALSHANA (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang