🦋 44 || Hilang Harapan

408 80 67
                                    

"Oke, lo nyeremin sekarang." Kaisha bergeser sedikit. Menjauh berusaha membentangkan jaraknya dengan Laksa. Gadis itu meneguk salivanya sebelum akhirnya memalingkan wajah dari Laksa.

"Itu gak sengaja," sanggah Laksa mengusir prasangka Kaisha, "dan itu juga ... karna sindrom gue."

Kaisha belum mau menatap Laksa. Ia menggigiti kukunya sendiri dalam sepi. Ternyata, menjadi pengidap alien hand sindrom seperti Laksa benar-benar malapetaka. Sulit mengontrol tangan sendiri hingga secara tak sengaja selalu melukai orang lain.

"Lo?" Kaisha kehilangan kata-katanya. Mulutnya terkecat, dengan gesit ia langsung menutup bibir. Tak mau melanjutkan ucapannya yang sekarang menggantung tanpa kepastian.

"Gue tusuk dadanya." Oke, ini menyeramkan. Kaisha kembali menggeser badannya sendiri. Merasa ngeri karna mendengar cerita Laksa yang menurutnya benar-benar creepy.

"Itu bener-bener enggak sengaja Sha," ucapnya lembut. Kaisha termenung, baru sadar jika sosok Laksa ternyata selemah ini. Dulu, ia selalu berpikir jika Laksa adalah sosok yang kuat. Makanya, selama itu pula Kaisha tidak pernah melihat Laksa menangis.

Jadi, ini yang pertama.

Pertama melihat Laksa menangis kepanikan tadi.

"Itu semua gara-gara sindrom bajingan ini," umpat Laksa menjambak rambutnya kasar.

Suara langkah kaki menggema di antara mereka. Keduanya sama-sama mendongak, melihat Ibu Laksa yang kini berlarian kecil ke arah mereka. Rambutnya disanggul, menambah kesan awet muda dan juga anggun di sana.

"Kamu enggak apa-apa?" Kedua tangan Ibu Laksa langsung menampung wajah anaknya. Laksa tak menyahut, wajahnya pun menyorotkan kehampaan. Sangat mirip dengan wajah-wajah manusia yang kehilangan semangat hidup.

"Laksa iblis, Bu," cicit cowok itu melemah. Melihat interaksi yang sungguh melankolis di sampingnya, Kaisha menggigit bibir bawah tanpa sadar. Tak tahu menahu harus berbuat apa sekarang.

"Itu kecelakaan," sergah Ibu Laksa mematahkan opini anaknya, "Mama temen kamu juga udah maafin. Dia ngerti kenapa kamu lepasin pegangan tangan dari anaknya."

Laksa ditarik, dibawa masuk kedalam pelukan sang Ibu yang menghangatkan. Senyum tipis Kaisha munculkan, tersentuh melihat momentum yang menurutnya sangat berharga ini.

Tanpa aba-aba, terbesit rasa cemburu untuk Kaisha. Senyuman tipis itu berganti menjadi senyuman pahit. Ibu. Satu nama yang selalu membuat hatinya resah tanpa alasan. Kaisha sangat iri, ketika teman-teman di sekitarnya begitu sangat disayangi oleh sang Ibu, mungkin hanya Kaisha saja yang diperlakukan berbeda.

Dibanding keluarga Laksa yang terlihat sangat harmonis, keluarga Kaisha justru malah kacau tak terbentuk. Ibunya yang pemabuk dan ayahnya yang tukang selingkuh. Walaupun mereka orang berada, tetap saja Kaisha membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Jika bukan karna sang paman yang begitu baik hati, sudah Kaisha pastikan tak akan ada lagi yang mempedulikan sindrom-nya ini. Sudah bertahun-tahun, Kaisha, Luna, dan juga kakaknya hidup di bawah naungan keluarga palsu. Haha, ironi memang.

Pelukan antara Laksa dan Ibunya tampak terlepas. Kaisha masih diam, memilih menjadi penyimak yang baik daripada harus mengganggu interaksi keduanya.

"Golongan darah kamu apa?" tanya Ibu Laksa seraya memegang kedua bahu anaknya. Laksa mengerjap, belum tahu apa maksud yang terselip di pertanyaan ibunya.

Ia menjawab, "O."

"Golongan darahnya sama," gumam Ibu Laksa lalu termenung. Tangannya menarik tangan Laksa dengan cekatan, lantas berlari cepat ke arah ruang di mana Aruna berada, "Aruna butuh darah, kamu mau ya donorin darahnya buat dia?"

ALSHANA (TERBIT) Where stories live. Discover now