🦋 30 || Bocoran

414 78 35
                                    

"Aliya bunuh diri karna dia gak kuat buat ngegapai permintaan orang tuanya." Kaisha tersenyum kecut, "dia ... gagal buat dapet posisi juara umum di semester ini."

Mata Aruna tertutup sempurna. Dalam diamnya, Aruna meringis serta merintih. Dirinya kembali diselimuti rasa tak percaya juga rasa tak terima. Sungguh, mengakhiri hidup sendiri untuk kabur dari suatu masalah bukanlah solusi yang benar. Aliya ... sudah salah pijak.

"Ta-tapi, bukannya ada semester dua? Terus, kenapa Kak Iya bisa tau bahwa dia bukan juara umum pertama?" Semburat kecewa itu menjelma menjadi rasa benci. Untuk pertama kalinya, Aruna merasa benci pada sosok yang sempat ia kagumi.

Aruna mengusap wajahnya kasar. Mulutnya melirih tak jelas. Serta racauannya menggunakan bahasa asing itu mampu membuat hati Kaisha tercubit.

"Aliya ... tau karna dia sempet ngeliat datanya di ruang guru," jawab Kaisha ragu. Wajahnya memucat, seolah-olah takut jika Aruna kembali mengamuk seperti tadi.

"Dia ngelakuin itu, karna merasa gagal, Na. Dia janji sama orang tuanya pas dia ultah. Bahkan, Aliya selalu belajar mati-matian. Dia gak mau orang tuanya kecewa," lanjut Kaisha.

Aruna menggeleng. Merasa yang dikatakan Kaisha kini adalah bualan belaka. Aliya ... memang cerdas. Tapi, dalam hidupnya Aruna tak pernah melihat Aliya seambisius itu. Gadis itu sering sekali jalan-jalan dengan Aruna mengelilingi perumahan yang mereka tempati. Jadi, tidak mungkin Aliya bunuh diri karna alasan itu.

"Di HP-nya, Aliya nulis note. Nulis jika dia kesiksa sama permintaan kedua orang tuanya yang maksa banget. Bahkan, Aliya pernah lupa makan karna sibuk ngejar nilai."

Sesuatu yang tajam menusuk Aruna. Rasa perih semakin dirasa. Matanya lantas menatap mata Kaisha dengan tajam. Mencoba membuktikan apakah Kaisha berbohong tentang semua ini atau tidak. Namun, tidak ada kilat kebohongan di dalam mata Kaisha. Gadis itu, berbicara jujur.

"Aliya ... udah bener-bener gak kuat. Arun, harus ikhlas, ya?" tanya Kaisha melembut. Tangannya terulur untuk mengelus-elus rambut wangi milik Aruna.

Anggukan sendu diberikan Aruna. Tanpa ada basa-basi, gadis kecil itu langsung memeluk Kaisha dengan pelan. Hatinya benar-benar mencelus hari ini. Aruna sudah tak bisa berkutik lagi. Gadis itu sudah menyerah. Menyerah pada takdir yang memaksanya tersenyum getir.

Mengikhlaskan seseorang adalah titik terendah yang paling Aruna benci. Ikhlas, ikhlas, dan ikhlas. Gadis itu hanya takut, jika rasa kecewanya akan berubah menjadi benci pada Aliya. Benci karna gadis itu sudah meninggalkannya, serta benci karna harapan Aruna harus pupus bersamaan dengan akhir hidupnya.

Semuanya ... hancur.

Baru saja Aruna akan berucap, suara gaduh yang berasal dari ruang seni itu mengecohkan atensinya. Aruna bangkit, memperhatikan di mana orang-orang mengangkat satu mayat yang sudah terlapisi dengan kantong jenazah.

Hatinya kembali mencelus. Tepat ketika Aruna akan ambruk ke belakang, suara tangisan Ibu dan Ayah Aliya terdengar jelas. Kaisha dengan sigap menahan ambrukan Aruna. Memegang tangan kecil gadis itu dan tak lupa untuk mengelusnya. Guna agar Aruna tidak melemah lagi.

Afika-- Mama Aliya, menangis histeris. Sosok putri satu-satunya kini telah pergi. Putri semata wayangnya yang dengan tega ia paksa belajar, belajar, dan terus belajar tanpa memandang waktu. Afika ... menyesal.

Di belakang Afika, ada Tania yang mencoba menenangkan Mama Aliya. Aruna tertawa hambar. Membuat Kaisha tertegun serta panik di satu waktu yang sama, "Ternyata bener, ya."

"Waktu dan semua momentum manusia itu gak bakal ada yang terulang," bisik Aruna. Gadis itu melepaskan pegangan Kaisha. Baru saja ia kan membalikkan dirinya sendiri, tapi kedatangan Arka berhasil membuat Aruna hampir menjerit kaget.

ALSHANA (TERBIT) Where stories live. Discover now