🦋 16 || Melupakan

577 87 58
                                    

"Berhenti! Serem banget kayak kucing keselek ikan teri!" Aruna mengoceh tak jelas. Laksa hanya diam, tak menggubris apapun yang dikatakan oleh gadis itu.

"Kak Laksa kalo diem kayak gini malah mirip monyet kesambet pelet nenek-nenek," tambah Aruna tak jelas. Sedikit menyindir, namun Laksa tidak tersinggung sama sekali.

Menyadari bahwa Laksa baru saja mengacangi semua yang diucapkannya. Aruna langsung meremang. Malu sendiri karna tak kunjung mendapat balasan dari semua ocehannya itu.

"Arun permisi dulu, mau bantuin Kak Iya bikin adonan cilok," pamitnya ngasal. Padahal ia ingin cepat-cepat pergi dari sana karna teringat permintaan Luna.

Laksa tersenyum simpul, "ayo ngomong lagi."

Baru saja Aruna melangkah, namun hal itu langsung terhenti karna perkataan Laksa. Hei, apa maksudnya? Aruna benar-benar tidak mengerti sekarang.

"Kenapa diem?" tanya Laksa seperti detektif. Aruna langsung salah tingkah, ia menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya sangat tidak gatal.

"Gue diem karna pengen denger ocehan lo. Terserah lo mau ngomong muka gue mirip monyet, atau mirip kucing yang keselek ikan teri juga gapapa. Asal lo tetep ngoceh kayak gitu di depan gue," ucap Laksa pada Aruna yang membuat gadis itu membisu saat ini juga.

Aruna tersenyum licik. Ide jahil terbesit di otaknya. Membiarkan Laksa yang kini kembali dengan wajah datar nan menyebalkan itu.

"Kak Laksa mirip monyet!"

"Monyet! Monyet! Monyet!"

Cowok dengan almamater kuning itu lantas terkekeh pelan. Membuat pipi Aruna menjadi kembung saat itu juga. Merah merona, gadis itu malu atau lebih tepatnya baper karna reaksi Laksa.

"KAK LAKSA MIRIP MONYETTTTTTTTT!!!" Aruna berteriak sangat kencang. Sontak, Laksa cepat-cepat langsung menutup mulut gadis itu dengan tangan kanannya.

"Lo bisa masuk BK kalo ngumpat kayak gitu!" ceramah Laksa. Aruna berdecak sebal, memberikan tatapan judes namun lucu miliknya.

"Katanya mau disebut monyet," protes Aruna dengan pipi yang mulai mengembung.

Laksa menggaruk kepalanya, "yaa, ga gitu juga."

"Yauda, lepasin! Arun mau ke Kak Iya dulu," pinta Aruna seraya melepaskan tangan Laksa dari tangannya.

"Jangan." Ucapan Laksa kali ini terasa sengaja menggantung, "gue bilang, jangan."

Aruna mengkerutkan kedua alisnya tanda tak paham. Mengapa kini Laksa melarangnya ke sana? Lagipula, ini jadwal Aliya untuk ke ruang OSIS. Pasti gadis itu sedang selonjoran santuy di sana.

"Kenapa? Sombong amat," protes Aruna ngeyel. Laksa berdecak kesal. Ia memutarkan kedua bola matanya yang kini sudah tertuju pada Aruna.

"Lo jangan ke sana," peringatnya seram.

Aruna bergidik ngeri, "jangan ngomong kayak gitu! Kak Laksa malah mirip om Dedi Cobuznskwnsewjer!"

"Lo abis makan apasi? Mulut lo jadi kebelit gini," sindir Laksa lalu melepaskan tangan Aruna. Ia sendiri memiliki alasan tersendiri mengapa melarang Aruna pergi ke sana.

Laksa lantas menunjuk ke arah motor Arka yang sekarang terbaris rapih di parkiran sekolah, " lo liat motor itu? Lo bisa naik motor? Bawa pulang sekarang."

Netra Aruna membulat seketika. Firasat tak enak entah mengapa lewat di pikirannya. Gadis itu menoleh, ikut melihat motor Arka yang ditunjuk Laksa itu. Namun, bukannya senang Aruna malah terbelalak tak percaya.

Motor ninja.

Laksa sepertinya benar-benar ingin membunuh Aruna. "Kak Laksa mau bunuh Arun? Bisa-bisa pas naiknya Arun kejungkel ke belakang!"

ALSHANA (TERBIT) Where stories live. Discover now