🦋 41 || Membenci Mocca

342 82 41
                                    

Angkasa benar-benar di drop out.

Bahkan, kini kedua orang tuanya sedang memohon di ruang BK. Meminta agar Angkasa tetap bertahan di CHS. Tempat sekolah elit satu-satunya di Jakarta.

Berita Angkasa menyebar begitu cepat. Mengalahkan gosip kematian Aliya yang ternyata sudah mereda. Aruna menggigiti kukunya, tak tahu harus melakukan apa sekarang.

Baru saja akan masuk ke kelas, gadis itu digiring oleh Sekertaris OSIS -- Qela, untuk masuk ke ruang OSIS terlebih dahulu. Sekarang, ia meremas rok sekolahnya cemas. Kepalanya menunduk, tak mau bertatap muka dengan sosok di depannya ini.

"Lo cuma pura-pura aja, 'kan supaya Angkasa di depak dari sekolah?" tanya cowok bertubuh tegap di depannya.

Perkenalkan, dia Alzen Adeeva. Sang Wakil Ketua OSIS yang baru saja naik jabatan kemarin. Walaupun ia ogah-ogahan, tetap saja sifat keras serta disiplinnya tak bisa diragukan.

"Maksudnya,  Kak?" tanya Aruna tak paham. Alzen menghela napas lelah. Ternyata, gosip jika gadis di depannya lemot serta kesulitan mencerna perkataan orang lain adalah benar.

Mengusap wajahnya kasar, Aruna tertegun. Alzen nampak frustasi. Lelaki ini mungkin sedikit tak terima, ketika Angkasa -- teman satu organisasi terdekatnya harus didepak dari sekolah karna Aruna.

"Kamu enggak ngarang cerita itu?" tanya Alzen lagi, "setau gue, Angkasa bukan tipikal orang bejad yang kehasut hawa nafsu."

Satu sudut bibir Aruna terangkat, menatap Alzen dengan tatapan tak suka. Ia lantas tersenyum riang, senyuman yang membuat kedua matanya menyipit secara tak sadar.

"Ah, Kak Al gak percayaan," jawab Aruna merogoh saku seragam sekolah. Dikeluarkanlah permen gagang dari sana, dengan seenak jidatnya, Aruna membuka dan melemparkan sampahnya sembarang, "kalo gak percaya, tanya aja Kak Laksa."

"Dia yang gebukin Kak Angkasa sampe bonyok mirip adonan cilok," celetuknya mendapati kekehan kecil dari anggota OSIS yang lain.

Candaan dari Aruna tak berhasil membobol tameng dingin milik Alzen. Cowok itu mendengkus, tak berminat sama sekali dengan arah pembicaraan Aruna yang sedang merendahkan Angkasa sekarang.

"Lo tau sebesar apa rasa kecewa orang tuanya Angkasa?" Belum puas menghujani Aruna dengan pertanyannya tadi, Alzen kembali menambahi, "lo-"

"Aku korban, kok malah kayak tersangka?" potong Aruna tak suka. Yang benar saja, berbicara dengan Alzen ternyata sangat ampuh membuat amarahnya kembali tersulut.

Alzen tersenyum, "Lo pikir, dengan semua kebaikan yang udah Angkasa kasih ke orang lain, mereka bakal percaya kalo dia ngelakuin hal brengsek kayak gitu?"

Aruna bangkit, matanya semakin menyipit. Menatap Alzen yang kini membalas tatapannya tak kalah sengit. Alzen berdiri, membuat Aruna terpaksa harus menjinjit.

"Kak Al, tau kenapa banyak banget orang sakit hati karna temennya?" tanya Aruna dengan satu alis terangkat ke atas. Alzen berdeham, menjawab 'Apa' dengan bahasa orang cuek, "karna mereka terlalu percaya bahwa temennya itu baik. Sampai gak tahu udah beberapa topeng yang temennya itu pake."

Hening. Semuanya tak berani atau lebih tepatnya tak bisa menyangkal ucapan Aruna. Ada benarnya, hampir semua orang bahkan menggunakan topengnya untuk menipu yang lain. Jadi, yang bisa ditangkap Alzen saat ini adalah, "Angkasa selalu memakai topengnya ke mana-mana."

"Kenapa merinding gitu mukanya?" tegur Aruna menyadarkan Alzen dari lamunan, "udah beres, 'kan? Dah Kak Al!" Ia membalikkan diri, pergi diakhiri tangannya yang melambai-lambai.

"Aruna!" Tubuhnya terhenti. Ia kembali membalikkan badan, memberikan tatapan yang sulit Alzen artikan. Hingga, ketika Aruna baru saja akan melengos pergi, Alzen sudah terlebih dahulu menginterupsi, "Jangan panggil gue Al."

ALSHANA (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang