🦋 37 || Harus Apa?

365 58 20
                                    

"Mana gue tau kalo Aliya bakal pergi hari itu juga?!" Arka menyerudup teh hangatnya. Setelah kejadian mengerikan tadi, mereka bertiga lebih memilih bolos dan mampir ke rumah Arka. Rumah Sang Sultan.

Kaisha mendongak, lalu tak lama kembali berkutat berusaha memperbaiki buku diary-nya yang koyak karna dilempar Aruna, "Gue juga."

"Lo sih, Sa! Kenapa gak bilang dariawal kalo lu tau Aliya pengen mati?!" Arka menyerang Laksa. Memang, dirinya sedari kesal karna baru mengetahui perihal kematian Aliya hari ini.

Laksa bersandar. Menutup matanya sembari menyelimuti diri dengan selimut tipis di ruangan main khusus teman Arka, "Gue udah janji."

"Janji apa? Lo liatkan tadi? Aruna ngamuk dan ngira kalo kita itu sengaja bikin Aliya mati!" cerocos Arka masih sewot. Tangan Aliya dengan lembut mengusap-usap punggung temannya itu. Memberi isyarat agar bersabar.

"Aliya udah milih jalannya, Ka," ucap Kaisha ikut menyerudup teh hangatnya, "lo denger, 'kan cerita Laksa tadi di ruang OSIS gimana? Aliya udah enggak sanggup hidup lagi. Lo kayak yang enggak tahu keluarganya aja."

Masih dengan menutup mata, Laksa membuka mulutnya untuk melanjutkan ucapan Kaisha tadi, "Aliya nyalonin jadi ketua OSIS juga karna dipaksa. Ortunya berharap bakal ada nilai tambahan dengan Aliya megang jabatan itu."

"Yaelah. Kabur dari rumah apa susahnya, sih?" tanya Arka masih berusaha menyangkal alasan Aliya melakukan hal itu.

"Aliya bukan anak kandung, Ka," jawab Laksa lalu membuka matanya. Ia beringsut duduk, mengambil cangkir teh hangatnya yang sedari tadi ia diamkan di atas meja bundar.

"Oh, maaf," sesal Arka sambil mengusap belakang lehernya tanpa alasan, "berarti, Aliya idupnya susah banget, ya?"

"Udahlah. Kematian Aliya juga udah berlalu. Kita gak perlu bahas itu. Lebih baik, kita bahas gimana caranya supaya Aruna gak marah lagi!" seru Kaisha tiba-tiba diiringi nada tinggi.

Semuanya terdiam. Membenarkan ucapan Kaisha dalam hati. Tapi ... bagaimana caranya? Mereka harus apa? Lagipula, bukankah Aruna tadi sudah mengatakan jika gadis itu sangat membenci mereka bertiga?

"Kasih cilok dua truk mempan kaga, ya," celetuk Arka mengundang sentilan di jidat dari Kaisha.

"Bisa-bisa obesitas dia!" omel gadis berambut panjang itu. Tatapannya kembali pada buku, menempeli beberapa kertas yang koyak dengan lem yang ia pinjam dari Arka.

"Aruna tau darimana kalo Laksa tau tentang kematian Aliya?" tanya Arka yang mampu membuat kedua insan di depannya mematung.

Kaisha mengusap wajahnya kasar. Lalu ia menatap Arka dengan tatapan membunuh. Memperingati agar cowok itu berhenti bertanya yang hanya akan membuatnya pusing.

"Aliya yang minta." Laksa menyugarkan rambutnya, "Dia bilang, Aruna berhak tau. Tapi, dia pikir-pikir lagi katanya seterah gue mau ngasih tau atau enggaknya."

Kaisha menggeser tubuhnya mendekati Arka, "Terus, Laksa dateng ke gue. Ngejelasin semuanya secara rinci. Sebenernya, gue udah tau rencana Aliya dari lama, sih. Karna dia juga sempet curhat ke gue lewat WA."

"Lah, kok dia gak curhat ke gue sih anying?!" keluh Arka mengundang tawa Kaisha yang tiba-tiba menggelegar.

"Mulut lo ember, sih. Aliya aja ogah ceritanya," canda Kaisha diakhiri dengan sentilan di dahi Arka. Cowok itu mendengkus, lalu tak lama sudah asyik memainkan laptopnya. Memang menyebalkan.

***

"Kamu belum pulang, Na?" Aruna mengadah ke atas. Kedua bola matanya bertumbuk dengan bola mata berwarna coklat terang. Gadis itu menyipit, sedang mengingat siapakah sosok yang bertanya padanya ini.

ALSHANA (TERBIT) Where stories live. Discover now