🦋 28 || Luka

398 72 22
                                    

Kematian Aliya sekaligus ketua OSIS CHS membuat gempar satu sekolahan. Pasalnya, Aliya mengakhiri dirinya sendiri dengan alasan yang belum diketahui pasti. Akibatnya, para murid dibubarkan dan diberi tahu agar tidak menyebarluaskan berita hoax.

Tangan Aruna masih bergetar, entah sudah berapa lama dirinya melamun tak tahu arah seperti ini. Gadis itu benar-benar terpukul atas kepergian Aliya. Aruna masih benar-benar ... tidak ikhlas.

Kini, dirinya terduduk lemah di UKS. Laksa yang membawanya ke sini dengan cepat. Agar Aruna tidak melihat darah dari leher Aliya yang keluar cukup banyak itu. Laksa tahu, jika melihatnya hanya akan membuat Aruna semakin memburuk.

Polisi belum juga datang. Sebagian siswa-siswi CHS pun sudah dibubarkan. Kini, hanya tinggal beberapa saja yang masih memiliki urusan karena kejadian ini. Yang pertama, Kaisha dan Adinda. Dua pengurus OSIS yang pertama kali menemukan Aliya di ruang seni. Kedua, Aruna. Gadis malang yang harus ditahan untuk dimintai keterangan karna menyentuh mayat Aliya tadi.

Laksa dan Arka hanya menemani Aruna. Mereka berdua tahu jika meninggalkan Aruna sekarang hanya akan membuat gadis itu depresi. Dilihat dari mimik wajah Aruna yang hampa, mereka juga tahu bahwa Aruna masih tidak bisa membedakan mana dunia khayalannya, dan dunia nyata.

"Na, minum, dulu." Laksa menyodorkan segelas air putih. Dengan cepat, Aruna menolaknya. Atensinya beralih pada Laksa, melihat keadaan kakak tingkatnya itu yang ternyata sama dengannya. Sama-sama tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Arka beranjak pergi. Cowok itu dipanggil Bu Fheny yang membutuhkan pertolongannya. Kepala Aruna menunduk, matanya tertutup sangat rapat. Namun, itu semua sia-sia. Air mutiara Aruna tetap berjatuhan secara brutal.

"Tampar aku," pintanya melirih. Laksa melotot tak percaya. Diambil lah tangan Aruna, baru saja ia akan mengusapnya, tapi perhatian Laksa terkecoh pada bercak-bercak merah di tangan Aruna.

"Ini ... kenapa?" tanya Laksa kaget.

Aruna beringsut, "Tadi, a-aku ... pegang ta ... tangan Kak, Iya."

Laksa membisu. Benar, tadi tepat sebelum dirinya mendekap Aruna, gadis itu juga sempat menggenggam tangan Aliya yang sudah penuh dilumuri oleh darah segar. Tak heran mengapa tangan Aruna pun terkena getahnya.

Aruna ditarik perlahan, dibuat berdiri oleh Laksa. Ia menuntun Aruna menuju westafel, mencuci tangan kecil gadis itu menggunakan sabun. Berusaha menghilangkan bercak-bercak darah Aliya dari sana.

"Kak Iya ... beneran udah enggak ada?" Suara itu benar-benar mampu menyayat hati Laksa. Suara yang biasanya cempreng dan periang berubah menjadi suara serak serta lemah. Laksa mengangguk sebagai jawaban, di detik selanjutnya Aruna langsung memeluk Laksa. Menangis di dalam dekapan cowok itu dengan menggila.

Ini hanya mimpi, ini semua hanya ilusi. Aruna seribu kali mengucapkan hal itu dalam hatinya. Sekarang, dunianya terasa dihentikan secara paksa. Dunia indahnya kini berubah menjadi dunia yang benar-benar kelam. Dunia Aruna ... sudah sepenuhnya hancur.

Tangan mungilnya mencengkram seragam Laksa dari belakang. Jujur, ia sendiri tidak kuat menghadapi rasa sakitnya sekarang. Aruna sudah sepenuhnya hancur, gadis itu sudah kalang kabut, tak tahu apa yang akan terjadi dengan hari esoknya tanpa Aliya.

Aruna terisak, "Kak Iya sayang aku," lirihnya pilu. Tak lama, tangis kembali membuncah. Isakan pilunya terdengar hingga Laksa ikut merasa tercubit. Aruna menangis sesenggukan, mencoba memgeluarkan semua lukanya yang kini terasa ingin membunuh Aruna secara diam-diam.

"Kak Iya pernah janji gak bakal tinggalin, Arun."

"Kak Iya janji bakal tetep sama Arum sampai dia sukses."

ALSHANA (TERBIT) Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz