🦋 29 || Keraguan

375 74 19
                                    

"Kak Laksa gak tahu apa pun tentang aku." Intonasi suaranya menguat. Aruna mengepal tangannya. Nama yang paling ia benci berhasil lolos dari mulut Laksa, orang yang disukainya.

Gadis itu terkekeh, "Jangan panggil aku Natusha."

"Kalo Kak Laksa masih panggil aku dengan sebutan Natusha, a-aku ... aku bakal bener-bener benci sama Kak Laksa," peringat Aruna penuh ambisi. Sama sekali tidak ada keraguan di mimik wajah maupun di intonasi suara nadanya. Gadis itu sedang bersungguh-sungguh.

Laksa berdiri, kembali dengan wajah datar serta tak terdefinisikan khas miliknya. Bohong jika Laksa bilang bahwa ia sama sekali tidak tahu apa pun tentang Aruna. Bohong jika ia mengatakan bahwa Aruna adalah orang asing di hidupnya. Laksa ... sedang berusaha untuk tidak menjadi munafik.

"Aku sama kamu. Kalo lo ngucapin itu, tandanya lo lagi marah." Aruna sangat tersentak. Ia bahkan melotot mengapa Laksa mengetahui hal itu, "tapi, kalo lo manggil diri lo dengan sebutan Arun, itu tandanya lo gak marah. Alias baik-baik aja."

Demi Tuhan, darimana Laksa mengetahui hal itu? Hanya dirinya dan Aliya lah yang mengetahui kebiasaan aneh Aruna itu. Tapi ... bagaimana Laksa bisa menyadari hal sedetail itu?

Aruna memanggil dirinya dengan sebutan aku ketika berbicara pada Alin. Itu karna Aruna benar-benar tidak suka dengan Alin yang pembangkang. Lalu, ketika ia sedang ada masalah, Aruna jarang sekali menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Arun. Laksa ... berhasil menguak satu rahasia Aruna.

"Gue tau semua tentang, lo," tutur Laksa tenang.

Lutut Aruna bergetar. Matanya terpaku pada satu sosok di depannya, Laksa. Tidak mungkin kakak tingkat yang terkenal sangat cuek itu mengetahui segala hal tentang Aruna. Bahkan, hal-hal yang ia simpan rapat-rapat dan hanya dibagikan pada Aliya.

Aruna bersimpuh, "Kak Laksa bukan siapa-siapa di hidup aku." Atensi Laksa tak mengarah pada Aruna. Mata hitamnya terikat memandang lurus. Tak mau memandangi Aruna yang kini menunduk di bawah.

"Gue ... bakal selalu jadi bayang-bayang lo," ungkap Laksa melemah. Tawa mendiang adiknya menggelegar seketika. Ia menoleh ke arah kanan dan kiri. Mencoba mencari sumber suara yang mampu membuatnya terkejut bukan main.

Aruna bangkit, tatapannya sempat bertemu dengan tatapan panik milik Laksa. Namun, gadis itu segera lari secepat mungkin. Tak berani berucap apa pun di hadapan Laksa. Sudah cukup, dirinya tidak akan lagi berani merecoki kehidupan Laksa. Dirinya tidak akan lagi pergi ke ruang OSIS hanya untuk bertemu laki-laki itu. Dirinya ... sudah tidak mau rahasia apa pun terbongkar lagi.

Dalam lari, Aruna menangis pelan. Air matanya bahkan berjatuhan tak tentu arah. Menyisakan Aruna yang berlari mencoba meredam amarah. Hatinya dibuat remuk, ada rasa tak terima ketika Laksa benar-benar mengetahui semua rahasianya.

"Aruna itu ... aneh."

"Centil, gatau diri."

"Dih, cantik, lo?"

"Liat! Pendek banget, dia."

"Anjir, kek bocah dong."

Sekelebat masa lalunya datang menghampiri. Berusaha mengingatkan Aruna yang baru saja akan mati. Gadis itu terus berlari, hingga langkahnya terhenti di depan ruang OSIS.

Isakannya lolos begitu keras. Ruang OSIS itu sudah terkunci rapat. Aruna memukul-mukul pintu bercat putih itu. Memaksa masuk untuk melihat kenangannya dulu bersama Aliya.

Aruna kembali menangis, gadis itu menjerit tak terima hingga menyiptakan perhatian beberapa murid yang masih berada di lingkungan sekolah. Aruna menarik rambutnya keras, menciptakan erangan sangat kencang lolos dari mulutnya.

ALSHANA (TERBIT) Where stories live. Discover now