PROLOG

102K 5.9K 90
                                    

"Bianca, will you be mine?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bianca, will you be mine?"

Bianca langsung lupa caranya bernapas. Darahnya surut, keringat dingin membasahi pelipisnya. Tidak, ini tidak benar. Bagaimana orang dihadapannya memiliki nyali sebesar itu untuk menembaknya di tengah lapangan seperti ini? Saat jam istirahat pula!

"Ehm— Kamu pergi dulu, ya? Please," ucap Bianca panik. Ia menoleh kesegala arah, berharap orang itu tak melihatnya. Dengan cepat, ia membantu laki-laki di hadapannya untuk berdiri dari posisinya yang berlutut. Namun, laki-laki itu masih keras kepala. Apa ia tak tahu konsekuensinya?!

"Gue nggak akan berdiri, sebelum lo nerima gue, Bi," ucapnya. Bianca mendesah keras.

"Maaf, aku nggak bisa. Udah ya, kamu berdiri. Tolong," ucap Bianca. Dalam hati, ia tak berhenti merapalkan doa. Otaknya tak berhenti membayangkan konsekuensi apa yang akan diterima laki-laki itu bila orang itu melihatnya.

"Gue nggak mau berdiri, sebelum lo nerima gue!" ucapnya keras kepala. Bianca terus berusaha untuk membantu laki-laki itu bangun, hingga sebuah lengan kekar menariknya menjauh.

Saat melihat siapa pemilik lengan itu, Bianca rasanya mau menghilang saja dari bumi. Ia panik, sepanik-paniknya. Bianca tak tahu pasti apa yang akan orang itu lakukan pada laki-laki yang berani menembaknya ini. Namun yang jelas, apa yang terjadi selanjutnya bukanlah hal yang baik.

"A-Arsa," cicit Bianca. Ia langsung memutar otaknya, berusaha membawa laki-laki bernama Arsa itu meninggalkan lapangan. "Kita pergi ke kantin aja, ya? Aku laper. Y-yuk?"

Arsa menatap Bianca sebentar, tersenyum. Meskipun begitu, rahang Arsa terlihat kaku, menunjukkan ada sirat kemarahan di dalam laki-laki itu.

"Bentar, Ca. Aku ada urusan sama cowok ini," ucap Arsa. Tak hanya Bianca, namun semua orang yang berkerumun menyaksikan juga ikut menahan napas. Kalau Arsa sudah muncul, laki-laki itu tak mungkin selamat tanpa luka sedikitpun.

Arsa melangkah maju, mendekati laki-laki itu. Aura mengintimidasi mengiringi langkah Arsa. Bianca pun sudah tak bisa melakukan apa-apa lagi. Sebesar apapun usahanya, Arsa tak akan mendengarkan.

Tak butuh waktu lama, hingga erangan keras terdengar dari mulut laki-laki itu. Arsa tersenyum puas saat melihat tulang menonjol di betis manusia di hadapannya.

Arsa berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan laki-laki yang berani mengganggu Bianca-nya. Ia menarik kerah seragam laki-laki itu hingga desisan tertahan kembali terdengar. Karena tarikan Arsa, kakinya ikut bergeser sedikit.

"Lo bilang nggak mau berdiri kalo Bianca nggak nerima lo?" tanya Arsa remeh. "Udah gue kabulin. Ayo, bilang makasih sama gue."

Laki-laki itu bergeming. Wajahnya memerah, menahan sakit yang amat sangat di betis kanannya. Keringat dingin sudah membasahi pelipis laki-laki itu. Merasa tak mendapat respon yang diinginkan, Arsa kembali bersuara.

"Kok nggak bilang makasih? Atau perlu gue patahin yang satunya? Kayaknya masih kurang."

Arsa berdiri, mendekati kaki laki-laki itu. Sebelum ia mendaratkan sepatunya di sana, laki-laki itu berteriak.

"Ampun, Sa! Ampun. Ma-makasih," ucapnya. Arsa tersenyum puas, mengurungkan niatnya.

"Good boy," ucap Arsa, mengacak rambut laki-laki yang sudah tak berdaya, setengah menariknya.

"Jangan ganggu Bianca lagi, atau lo bakal gue buat nggak bisa jalan."

Laki-laki itu mengangguk cepat. Arsa berjalan mendekati Bianca yang sudah menutup kedua telinganya dengan tangan sambil menunduk dalam. Tubuh gadis itu bergetar, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Dengan lembut, Arsa menarik kedua tangan Bianca menjauh dari telinga gadis itu, menarik dagu Bianca hingga tatapan mereka bertemu.

"Ayo ke kantin," ucap Arsa. Ia menggandeng Bianca meninggalkan lapangan menuju kantin.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now