2. Pria dari Masa Depan

3K 898 275
                                    

Sinar matahari menyorot tajam di luar sana, kemudian dipantulkan kembali keca gedung hingga hanya sedikit yang terserap ke dalam. Hening ruangan di lantai paling tinggi gedung itu. Terdengar hanya suara detik jam. Kedua mata yang tak bertemu selama ratusan tahun lamanya masih saling memandang. Debaran jantung seakan tak terasa. Senyum terkembang di bibir seorang pria yang kini tengah memangku wanita yang ia tunggu hadir dalam hidupnya.

"Saha anjeun anu ti mana, mulih ka mana, angkat ka mana?" tanya Shanika. Suara wanita itu begitu halus meski diberi penegasan. Begitu cantik Sang Putri dengan pakaian kerajaannya. Sebuah mahkota kecil menghias rambut dan wangi bunga melati terangkai indah jatuh terurai ke bahu. Rambut hitamnya digelung setengah ke belakang sedang sebagian lagi terurai jatuh.

Sadar berada bukan pada tempatnya, Shanika turun dan berdiri sambil masih menatap pria itu dengan tatapan heran. Dia masih terpaku pada objek manusia itu hingga tak sadar di sekeliling bukan lagi tempat yang sama di mana dia hilang tadi.

"Bagea sadatangna sampean," balas pria itu.

"Apakah santun seseorang yang menyapa lebih dulu bahkan tidak memperkenalkan diri?" sindir Shanika dalam bahasa Sunda menyembunyikan tubuhnya yang gemetar dan takut. Ayahnya sering berkata, jika takut menghadapi seseorang harus tunjukan keberanian agar orang itu merasa segan.

"Bikasa. Dari kata Biksa yang artinya hukum. Aku lahir di hari senin, dua puluh tahun yang lalu atau empat ratus tahun lebih sejak kematianmu," jawab Bikasa.

"Apa maksud ...." Shanika melihat ke sekitar dan menemukan keanehan lainnya. "Apa ini nirwana?"

"Apa ngahyang semudah itu?"

*Secara etimologi, ngahyang adalah kembalinya ‘ruh’ manusia kepada Sang Pencipta setelah mengalami masa samsara, dalam term Hindu dan Budha, kata ngahyang sepadan dengan moksa (sumber: lembursitu.sukabumikota.go.id)

"Lalu di mana ini? Dan siapa kamu?"

"Aku sudah katakan namaku Bikasa. Ini dunia ketika waktu dari masamu berlalu selama empat ratus delapan puluh delapan tahu lamanya," jelas Bikasa.

Shanika semakin gemetar. "Kamu sedang memantraiku? Kamu pasti siluman itu, 'kan?"

"Katakan demikian. Menurutmu, apa aku ini memiliki ciri yang sama dengan siluman yang kamu lihat?"

"Kamu bisa berwujud!" tunjuk Shanika. Dia mundur lalu berlari menuju sebuah pintu yang terbuka tak jauh dari meja. Hampir saja dia melompat dari railing balkon jika saja wanita itu tak berhenti. Kaget dia melihat diri berada begitu tinggi sementara daratan ada di bawah sana. Shanika duduk lemas di lantai sambil berpegangan pada besi balkon.

"Wahai, Batara Tunggal. Berikan aku pengampunan-Mu. Aku tahu sudah melakukan larangan dengan meminta bantuan siluman. Aku pantas mendapat hukuman, tetapi kenapa harus terasing di suatu tempat yang jauh dari nalarku," lirih Shanika.

Saat itu terdengar suara langkah mendekat. Shanika memeluk lutut dan menyembunyikan wajah. "Aku tahu Putri tengan takut akan keadaan ini. Andai jika aku bisa menjabarkan. Hanya saja aku manusia yang diberi keterbatasan oleh Tuhan. Aku hanya bisa merasakan kedatangan Putri. Namun, aku tak tahu bagaimana Putri bisa ke mari." Bikasa duduk berjongkok di depan Shanika. Sebelah lututnya menyandar ke lantai balkon.

Shanika usap air matanya. "Bisakah kaula mempercayai sampean?"

Bukan menjawab, Bikasa malah tersenyum. Dia duduk bersila di depan Shanika. "Biar aku ceritakan sesuatu. Mau mendengarkan?" Keduanya berbincang dalam bahasa Sunda kuno.

"Suatu hari ada seorang Ratu yang mati karena dihukum. Dia difitnah telah mengkhianati suaminya sendiri dengan alasan tak ingin Raja memiliki anak dari selir sehingga lebih memilih menurunkan Raja dari tahta."

Shanika mendengarkan walau dengan tangan yang gemetaran dan wajah yang pucat. Keringat jatuh dari sisi kening. "Saat di hukum mati, Ratu tengah mengandung putra Raja. Anak yang harusnya lahir menjadi putra mahkota. Karena rohnya masih suci. Roh itu dikumpulkan di suatu tempat di mana dia bisa bermain dan belajar banyak makna. Suatu hari ada seorang putri kecil menangis. Karena rasa penasaran melihat seorang gadis kecil dengan pakaian penuh perhiasan berada di tengah hutan, roh itu menghampiri."

"Hutan?" tanya Shanika pendek.

Bikasa menganggukan kepala. "Iya, di tengah hutan. Bagaimana bisa seorang gadis kecil pergi ke sana. Dia menangis. Tak lama putri kecil berteriak ketakutan sambil menunjuk roh itu."

"Bukannya roh tak bisa dilihat?"

"Karena itulah rohnya ikut kaget. Sejak itu mereka saling berkenalan. Putri sering main ke hutan bahkan tanpa pengawalan. Dia bilang, jika pun mati Ayahanda tidak akan mencari atau menangisi."

"Putri itu aku?" terka Shanika.

"Bagaimana Putri bisa menerka seperti itu?"

"Karena hanya aku seorang putri yang tidak diinginkan lahir ke dunia. Andai jika ayah masih mempertahankan aku, itu hanya karena dia tak ingin berdosa membuang darah daging sendiri. Apabila aku mati dimakan harimau, itu takdirku dan dia akan lepas dari tanggungjawab terhadapku."

"Tapi bagi roh itu, kamu adalah teman paling berharga," kilah Bikasa.

Shanika tersenyum. Napasnya kembali normal. Angin meniup rambutnya. "Bagaimana kamu tahu tentang itu?"

"Aku adalah roh itu. Roh anak lelaki dengan pakaian hitam dan iket di kepala. Bukankah aku pernah sebutkan bagaimana Ayah memberi aku nama?"

Shanika mencoba mengingat. Kenangan itu terjadi ketika dia masih kecil. Setelah beranjak dewasa, dia dikurung di istana sebagaimana putri lainnya. Sejak itu dia tak bertemu dengan roh itu lagi.

"Bikasa dari kata Biksa yang artinya hukum. Kamu ngahyang karena hukum dari ayahmu dan hingga meninggalkan rasa sakit sebagai hukuman bagi ayahmu sendiri," jawab Shanika.

"Benar, aku Bikasa."

Keduanya saling tatap. Seketika Shanika melihat sebuah benang yang tertaut di antara keduanya. Benang yang juga dia lihat saat bertemu dengan Bikasa dulu. "Apa benar ini benang perjodohan kita?"

"Aku pikir Putri tahu alasan kenapa tak satu pun orang yang bisa menikahimu." Bikasa menatap hangat wanita di depannya.

"Karena Sanghyang Keresa yang telah mengikatku dengan kamu," jawab Shanika.

"Dan ikatan itu tak terputus meski ragaku tak pernah lahir."

"Tapi ini bukan duniaku."

Bikasa menarik napas. "Ini duniamu, hanya saja waktu yang berbeda. Kita terpisah dengan ruang waktu yang sangat lama. Tentu Putri harus kembali karena memang sudah takdirnya kita tak bisa bersatu." Nyeri saat Bikasa harus mengatakan itu. Namun, nyatanya sudah tertulis seperti itu takdir bagi keduanya.

"Bagaimana? Aku pun tak tahu bagaimana bisa aku berada di sini. Apa kamu tahu?"

Bikasa menggelengkan kepala. "Aku hanya bisa membuka gerbang ruang tempat, bukan ruang waktu."

"Jadi selamanya aku akan terjebak di sini?"

Bikasa menggelengkan kepala. "Apakah tak ingin Putri di sini bersamaku? Sudah waktunya kita bisa bersama. Putri tak akan sendirian lagi. Aku akan menyayangi, menjaga dan membuatmu bahagia. Itu sudah menjadi apa yang harus aku lakukan sebagai jodohmu. Aku akan bayar semua waktu di mana Putri menderita akan hilangnya aku dari waktu," janji Bikasa.

MAU LANJUT? 100 KOMEN DAN 400 VOTENYA DONG 🙏


BIKASAWhere stories live. Discover now