19. Siluet

1.3K 499 580
                                    

Authornya boleh ngemis Vote sama komennya enggak?

💐💐💐

"Kiyu! Kiyu!" ucap Amarta sambil menjatuhkan sebuah kartu gapleh di atas kartu gapleh lainnya.

Bikasa menarik napas. Saat Amarta hendak mengambil uang lembaran dua ribu yang menumpuk, Bikasa langsung halangi. "Apa-apaan ini? Kamu kalau kalah harus menerimanya dengan lapang dada, Bit!" tegas Amarta.

"Atas apa?" Bikasa mengambil kartu yang Amarta tadi jatuhkan ke atas meja. "Mang Arta jangan coba-coba menipuku. Jelas kartu ini sudah dibuang, kenapa diambil lagi diam-diam?" tanya Bikasa.

"Fitnah lebih kejam daripada membunuh, Bit!"

"Di sini aku yang Mang Arta fitnah. Mang Arta memfitnah aku sudah memfitnah Mang Arta," timpal Bikasa.

Keduanya saling tatap dengan sengit. "Gini saja, kita bagi dua supaya adil!"

Bikasa kembali menggeleng. "Seorang pria dikatakan jantan kalau dia merebut kemenangan sampai akhir. Meski kalah, harus kalah pula dengan cara terhormat!" tegas Bikasa.

"Kamu ngomong sudah kayak panglima perang saja. Di sini kita cuman main gapleh. Mana taruhannya cuman lima puluh rebu. Dua ribuan semua lagi!"

"Yang penting itu bukan soal nilai nominal, tapi nilai harga diri!"

Amarta menepuk kening. "Kamu makin gede kenapa makin nyolot saja?"

"Karena kebenaran harus selalu ditegakkan. Kita tidak bisa memihak hanya karena hubungan keluarga atau pun kolega."

"Tapi kamu jadi manajer karena anaknya general manajer," serang Amarta.

"Posisiku pun tidak akan bertahan tanpa kerja keras."

"Kamu tetap saja naik jabatan karena privilege." Tangan Amarta melipat di depan dada.

"Sirik bilang, Bos!" sewot Bikasa.

Amarta tertawa. "Nah ini baru ponakanku yang super julid. Ke mana saja kamu selama ini, Nak?"

Bikasa menaikkan sebelah alis. "Aku pusing mikirin gaji. Dulu apa-apa tinggal minta Papa. Sekarang harus mikirin cicilan rumah, mobil, bayar listrik dan air, gaji pembantu, makan sehari-hari," keluh Bikasa.

"Biaya nikah gimana? Kayaknya Ibu kamu sudah suka banget sama calon mantunya." Amarta menunjuk Shanika yang tengah belajar masak dengan Hatala di halaman belakang. Ini semacam baberque party, tapi menyediakan karedok, tempe dan tahu goreng juga ikan asin.

"Inginnya begitu," ucap Bikasa. Dia membereskan kartu gaplenya dengan wajah kusut.

"Kamu mikirin apa sih? Kerjaan punya, calon istri cantik. Kamu juga enggak ikut antre minyak goreng. Susahnya apa?"

"Sulitnya kita punya masalah yang tidak bisa diungkap pada orang lain, tetapi sulit menyelesaikan sendiri. Kadang aku rindu, Mang. Rindu jadi anak kecil yang ke mana-mana nyetir mobil plastik, pakai sandal kodok, dan buat masalah di kampung orang. Andai saja aku tahu jadi dewasa semenyebalkan ini, aku tidak akan berharap cepat besar dulu."

"Arta! Obit! Ayo makan!" panggil Tala.

Keduanya lekas turun dari saung dan berjalan menuju meja makan di tengah halaman. Shanika sudah duduk menatap semua makanan sambil menggigit bagian bawah bibir. Terlihat berbinar matanya.

"Kamu lapar?" tanya Bikasa.

"Iya! Ini semua terlihat enak walau tidak ada ayam lumpur," jawab Shanika. Bahkan matanya tidak berpaling pada makanan di atas meja.

Hatala membagikan piring. "Kita makan saja! Nungguin Albi Miftah Alvian lama. Keburu langsing aku nanti!" keluh Tala.

"Bukannya Ibu mau langsing, ya?" tanya Bikasa.

BIKASAWhere stories live. Discover now