18. Calon

1.3K 483 373
                                    

Shanika semalaman harus menghafal teks proklamasi yang Bikasa buat. Hal itu karena Hatala terus memaksa ingin bertemu dengan pacar putranya itu.

"Pacar itu apa?" tanya Shanika.

"Semacam kekasih. Di zaman ini orang kalau saling mencintai akan membuat sebuah hubungan cinta. Mungkin di zaman kamu hanya sebatas berkirim surat. Hanya kalau di sini sudah saling berpegangan tangan, berciuman dan ada yang berlebihan hingga bersetubuh."

"Kenapa begitu? Apa mereka tidak takut karma? Kenapa di zaman ini orang sangat aneh! Bahkan aku merasa dunia saat ini aneh ketika melihat orang-orang hampir tidak ada yang bicara menggunakan bahasa Sunda," omel Shanika.

"Iya, zaman ini semua orang merasa keren ketika bicara bahasa orang-orang Eropa. Itu untuk membangun kerja sama, katanya," timpal Bikasa.

"Jadi kita pacaran?" tanya Shanika masih bingung dengan konsep hubungan keduanya.

"Bukannya kamu sudah sepakat akan kerja romusa menjadi kekasihku untuk membayar hutangmu?" Bikasa masih sibuk dengan kemudinya.

Senyum Shanika melengkung. Gadis itu sekarang bisa mengenakan safety belt sendiri. Dia juga sudah tak terlalu kaget melihat hal aneh, termasuk tulisan berjalan.

"Terus kalau ibunda ratu bertanya sejauh apa hubungan kita? Aku harus jawab apa? Sampai pegangan tangan, kan?"

"Iya seperti itu." Bikasa terkekeh. Shanika kembali membaca teksnya. Walau terbata-bata, dia sudah bisa membaca dengan baik.

"Kuliah itu apa lagi?" Semakin dalam menghafal, dia semakin pusing dengan istilah di dalamnya.

"Jawab saja begitu. Nanti kamu tanya Google untuk tahu jawabannya."

Mobil Bikasa akhirnya tiba di rumah Albi. Halaman rumah itu sangat luas hingga terasnya saja berukuran sepuluh kali empat meter yang berlantaikan marmer. Seorang pelayan menyambut mereka dan mengantar hingga ruang tamu.

Shanika hari ini mengenakan sweater merah muda dan dress putih. Wajahnya terlihat bersinar. Bahkan cahaya lampu kristal di ruangan itu seakan membuat wajah Shanika semakin terlihat bling-bling. Meski di zamannya wanita itu hanya menggunakan bahan alami untuk perawatan tubuh. Namun, kecantikan dan keharuman tubuh patut ditandingkan dengan wanita zaman sekarang.

"Ibu mana, Bi?" tanya Bikasa pada salah satu pelayan.

"Saya panggilkan Nyonya dulu, Tuan Muda. Kalau Tuan kebetulan hari ini masih di kantor," jawab pelayan.

"Iya, tadi aku melihat beliau masih berada di ruang rapat. Katanya dia akan menyusul nanti."

Pelayan pamit untuk naik ke lantai dua. Bikasa masih duduk di sana bersebelahan dengan Shanika. "Ini istana utama?" tanya Shanika penasaran.

"Seperti begitulah. Hanya memang jauh lebih besar dibandingkan rumahku," jawab Bikasa.

Shanika masih melirik setiap detail di ruangan itu. Dia menunjuk lampu kristal yang tergantung. "Bi, di rumahmu juga ada yang seperti ini, kan?" tanya Shanika. Bikasa mengangguk.

Tepat di saat itu, terdengar seseorang mengucapkan salam. "Assalamualaikum!" seru suara seorang gadis remaja yang baru duduk di bangku SMA. Saat tiba di ruang tamu, dia terpaku mendapati Bikasa dengan seorang wanita.

"Ini pacarmu, Bit?" tanya gadis itu.

"Heh! Panggil yang sopan! Aku ini kakakmu!" omel Bikasa.

Cantya, adik kedua Bikasa baru kembali dari sekolah setelah dijemput oleh sopirnya. Gadis itu duduk berhadapan dengan Shanika. Dia tatap Shanika dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. "Kamu cantik banget kayak tuan putri," puji Cantya.

BIKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang