35. Kehilangan Terdalam

1.1K 409 276
                                    

Prasasya hidup dalam pengasingan. Bahkan tak sekali pun Widyuta datang menengoknya. Dia menghabiskan hari demi hari menunggu waktu dia diadili. Hanya satu yang terdengar oleh Prasasya tentang istana, suaminya telah memiliki ratu baru yang merupakan putri salah satu mentri istana.

Sakit hati Prasasya mendengarnya. Apalagi orang-orangnya banyak yang berkhianat dan memberikan kesaksian palsu hingga kejahatan Prasasya semakin dianggap berat.

Sebulan dalam pengasingan, dia malah mendapati dirinya tengah hamil setelah dibawa ke salah satu tabib yang diutus kerajaan untuk menangani orang yang di pengasingan. Namun, kabar kehamilan itu terus ditahan agar tidak sampai di telinga Widyuta.

Berbulan-bulan lamanya Prasasya menunggu Widyuta datang untuk setidaknya melihat anak mereka. Namun, hingga Prasasya melahirkan Widyuta tak pernah datang.

"Bayimu laki-laki, Nyai. Dia tampan sekali. Kulitnya bersih," puji dukun yang membantu Prasasya melahirkan. Wanita itu melihat wajah putranya yang mirip dengan Widyuta. Dia merasa bahagia walau tahu anaknya akan tumbuh tanpa seorang ayah.

"Dengan apa kau akan berikan dia nama?" tanya dukun itu.

Prasasya mengusap kening putranya. "Karena dia lahir dalam pengasingan dan ikut menjalani hukuman denganku, kuberi dia nama Bikasa dari kata Biksa," jawab Prasasya sambil mengucurkan air mata.

Layaknya seorang ibu, Prasasya menggendong putranya setia hari, dibawa bayi itu sambil mencari makanan di hutan. Rasa takut akan binatang buas dia lawan demi mengisi perut.

Hanya sebentar waktu yang dia lewati dengan putranya. Panggilan sidang untuk Prasasya pun akhirnya terdengar. Dia harus pergi tanpa bisa meninggalkan bayinya sendirian. Wanita itu duduk dalam krangkeng dari kayu yang ditarik oleh kuda agar tidak melarikan diri.

Bikasa menangis seakan tahu apa yang akan dia hadapi. Sedang Prasasya terdiam. Dia menyiapkan diri untuk perpisahan dengan anak yang selama sembilan bulan lebih dia kandung.

Sampai di tempat sidang, Prasasya duduk berbaris bersama tahanan lain. Wajahnya sama sekali tak gentar. Dia tersenyum menatap Bikasa. Bayi itu meraih pipi ibunya dan ikut tersenyum.

Giliran Prasasya yang dipanggil ke depan. Dia duduk di hadapan hakim. "Karena telah membangkan, melakukan pengkhianatan kepada Raja dan menggunakan sihir hitam, kau dihukum mati dengan meminum racun. Dan bayi yang kau kandung, karena mengalir darah pengkhianat dalamnya, akan diberikan hukuman yang sama," ucap hakim.

Semua orang yang ada di sana kebingungan. Mereka saling berbisik. Bagaimana hakim tega pada bayi yang bahkan baru lahir ke dunia? Seorang petugas kehakiman menyiapkan racun dalam piring gerabah. Di simpan di depan Prasasya.

"Biarkan aku yang menimumkan bayiku racunnya. Jangan ada yang memyentuh dia. Jika kami mati, kuburkan kami di tempat yang sama. Dia masih butuh diriku, ibu yang memberikannya kehidupan pun dengan kematian," pinta Prasasya dengan lirih.

Mata wanita itu menatap nanar Bikasa. "Anakku, kita tak akan terpisah, kan? Maafkan Ibu yang tidak bisa memberimu kehidupan lebih lama. Maafkan Ibu yang tak bisa mengajarkan kamu berjalan dan bermain. Ibu sayang padamu. Meski Ibu harus melakukan ini."

Bikasa mengedipkan mata. Melihat senyum bayi itu rasanya Prasasya tak tega. Dia usap pipi bayinya. Bisa memainkan bibirnya yang mungil dan menutup mata sejenak. Bayi yang dia asuh dan dia kasihi harus ikut menanggung hukuman. "Harusnya kau tak lahir dari wanita sepertiku. Pasti kau akan bahagia."

Dia ambil racun itu dan meneteskan sedikit ke mulut bayinya. Prasasya mendekap tubuh Bikasa karena tak tega melihat bagaimana bayi itu meregang nyawa. Kemudian dia meminum racun itu. Cairan itu turun ke kerongkongan dan perlahan menghentikan jalannya oksigen ke tubuh. Jantung Prasasya berdebar lebih kencang dan dalam hitungan detik, dia jatuh terkapar ke tanah.

Ibu dan anak itu telah mangkat dengan ketidakadilan. Tangan Prasasya masih memeluk bayinya seakan tak ingin terpisah. Persis setelah eksekusi selesai pada seluruh tahanan, Widyuta datang dengan pasukannya. Dia melihat mayat para pengkhianat yang telah mengusik tahtanya.

Satu per satu wajah mereka dia tatap. Hingga Widyuta menemukan wajah yang amat dia kenal. Pria itu turun dari kudanya. Tertegun Widyuta dan melihat jenazah wanita dengan bayinya.

"Bayi siapa itu?" tanya Widyuta. Tubuhnya sampai gemetar saat menanyakan itu.

"Pengkhianat itu tengah mengandung saat dibawa ke pengasingan Maharaja. Karena takutnya anaknya balas dendam di kemudian hari, hakim memutuskan menghukum mati dia dengan anaknya," jelas salah satu penjaga.

Mendengar kisah itu dari sukma kakeknya memetes air mata Bikasa. "Widyuta tak bisa menahan amarahnya. Dia kecewa karena tak pernah tahu tentang keberadaanmu. Dia membantai semua orang di pengadilan. Tubuh kalian dibawa ke istana. Dia kesal menurutnya kalian mati karena negeri ini. Dengan kekuatannya dia hancurkan seluruh negeri tanpa sisa. Tak satu pun yang bertahan hidup," ungkap Anjaya.

Bikasa menepuk dada. "Lalu apa yang harus aku lakukan, Gusti? Awuntah tak bisa dibiarkan terus hidup. Jika tidak, dia akan terus mengusik kehidupan manusia dan menghasut mereka."

"Datanglah ke tempat dirimu dan ibunya dimakamkan. Begitu tubuhmu ada di tempat yang sama, waktu akan menjadi kacau. Ucapkan mantram yang sama dengan yang kau gunakan untuk membuka ebuh Jayakreta. Maka kau akan kembali ke waktu sebelum Awuntah mengubah takdir. Hancurkan mahluk itu. Kamu mungkin tak bisa, tapi Widyuta sebagai Prabu bisa melakukannya," jelas Anjaya.

Perlahan sukma Anjaya mulai pudar. "Waktuku telah habis, Cucuku. Kembalikan waktu agar berjalan dengan seharusnya tanpa campur tangan Awuntah. Sang Rumuhun sudah menyiapkan dirimu untuk itu semua."

Bikas jatuh berlutut. Dia meremas rerumputan dengan rasa sakit yang menyesakkan. "Awuntah! Aku tidak akan memaafkanmu! Aku pastikan kau lenyap tak bersisa!" tegas Bikasa.

Shanika memeluk Bikasa dari belakang. "Apa yang terjadi, Bi? Ceritakan padaku. Jangan kamu menahan rasa sakit sendiri," saran Shanika.

"Banyak hal yang aku tahu ternyata tak sesuai kenyataan. Ibuku, ayahku, begitu jahatnya Awuntah hingga setega itu demi menghancurkan negara ini. Aku tak akan membiarkan dia menang," tekad Bikasa.

Pria itu berdiri. Dia berjalan ke dekat makam kakek dan neneknya. Bikasa menggali bagian tengah tanah di antara dua makam itu dengan bambu. Seperti yang dia duga, pedang dan permatanya masih ada di sana.

"Kita akan pergi ke masa lalu dan memperbaiki segalanya. Awuntah tak boleh ikut campur dalam takdir manusia." Bikasa menuntun Shanika keluar dari kabuyutan. Mereka menembus hutan belantara hingga tiba menemukan sebuah batu besar. Berdiri pria itu di depannya.

Pedang Bikasa tancapkan ke tanah sesuai dengan bayangan yang diberikan sukma kakeknya. Sambil memegang tangan Shanika, dia membaca mantra. "Rahiang, guar kakayon nu ngalapat wanci. Catra barkah angsoka updana Widyuta."

Perlahan pepohonan mulai berubah. Batu besar yang ada di sana menghilang. Shanika tertegun melihatnya. "Bi, kita ada di mana sekarang?" tanya Shanika.

"Di zaman yang sama sebelum ibu dan ayahku dipertemukan," jawab Bikasa.

💐💐💐

💐💐💐

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
BIKASAWhere stories live. Discover now