30. Dananjaya

1.2K 428 252
                                    

Untuk menepis kecurigaan, Shanika harus bermalam di tenda yang dibangun oleh abdi istana. Sedang Bikasa memilih untuk tidur dalam kereta dibandingkan mungkin menjadi santapan macam di dalam hutan sana. Dia mungkin punya kekuatan, hanya siapa yang akan siaga jika tengah tertidur.

Bikasa bisa saja keluar dari kereta tanpa diketahui. Shanika hanya tinggal memanggilnya dari luar sana. Namun, dia luar tiada emperan toko atau teras gedung. Tidak juga ada hotel bintang lima yang bisa disewa.

Dananjaya masih jauh di sana. Negara kecil itu terpisah cukup jauh dengan Argaloka. Negara yang makmur akan hasil sadapan kawung dan sebagian hasilnya akan dibayarkan ke Pakuan.

Tidur di kereta bukan hal yang nyaman. Benda ini sempit. Berbaring ke samping kanan atau ke depan pun kaki Bikasa tak bisa selonjoran dengan lurus. Jadilah dia harus tidur sambil duduk dan bersedekap.

"Perjuangan cinta kenapa begitu sulit, ya? Pantas saja zaman ini lelaki begitu bucin pada satu wanita. Mau move on saja harus mendaki gunung, lewati lembah ke negeri seberang," batin Bikasa.

Terdengar suara seseorang menembangkan kawih. Suaranya begitu merdu hingga mengantar Bikasa pada tidur yang lelap. Malam semakin kelam. Ditemani suara tongeret menghias keheningan. Dalam mimpi Bikasa ingat ibunya. Ah, pasti wanita itu akan mencari. Apalagi mereka sudah janji akan bertemu dengan calon yang ditunjuk.

Kadang memang diri bisa egois. Hanya saja apa salah Tala? Dia tak tahu duduk masalahnya dan patut seorang ibu ingin anaknya lekas menikah dibanding ke sana-sini dengan teman pria hingga mengundang komentar negatif. Hanya saja Bikasa juga harus berjuang demi cinta. Mungkin kini akan menjadi rumit. Jika sudah berhasi nanti, semua akan membaik.

Mungkin tubuh memang sudah memilik alarmnya sendiri. Bikasa bangun ketika fajar mulai terbit. Dia membuka perlahan jendela kereta dan mengintip keluar. Penjaga masih berdiri di sana melakukan pengawasan. "Heran, apa mereka tidak ada shift, ya? Orang yang menjaga tetap sama. Di zamanku pasti sudah terkena undang-undang ketenagakerjaan," pikir Bikasa.

Jadilah dia hanya mengambil tayamum. Selesai salat, Bikasa kembali duduk menghabiskan rasa bosannya. Ponselnya bisa dibuka, hanya tanpa sinyal internet apa guna benda itu?

Pintu kereta terdengar dibuka. Bikasa kaget hingga siap mengambil ancang-ancang. Shanika muncul dari sana dan naik ke dalam. "Kamu mau salat?" tanya gadis itu. Matanya yang bulat terlihat begitu indah.

"Sudah. Barusan. Aku bisa wudu dengan debu yang ada di sini," jawab Bikasa.

"Maaf, kamu pasti kesulitan. Aku sudah minta dayang sepuh menyiapkan kuda. Aku akan keluarkan kamu sebentar lagi. Kamu bisa gunakan itu hingga ke Dananjaya," jelas Shanika.

"Apa di sini ada yang namanya GPS?" tanya Bikasa dengan polosnya.

Shanika menggelengkan kepala. "Lalu bagaimana aku ke sana? Memang aku tahu Dananjaya di mana?" Bikasa terdengar sewot.

"Iya juga," jawab Shanika. Gadis itu akhirnya duduk bersebelahan dengan kekasihnya. "Kamu di sini saja. Aku akan mengeluarkanmu setelah di kota. Nanti kamu ikuti ke mana warga melihat keramaian. Pangeran Dipati menikah pasti warga ingin menonton walau tahu mereka tidak akan bisa masuk dalam gerbang keraton," jelas Shanika.

"Lalu apa yang aku lakukan?" tanya Bikasa bingung. Dia sendiri belum punya rencana. Sekarang rencananya hanya menghindar tidak ketahuan penjaga.

"Kamu bisa melihat bagaimana orang hidup di masa ini, Bi!" tegas Shanika. Dia tahu Bikasa pada masa ini adalah arwah yang tidak bisa keluar dari hutan larangan. Tentu tidak tahu peradaban pada tahun ini.

Setelah membereskan tenda, rombongan kembali meneruskan perjalanan. Niranjana kembali dihias dengan pakaian baru. Dia pun dimandikan dengan kembang tujuh rupa.

Perlahan keheningan berubah menjadi agak ramai. Mereka tiba di gerbang kerajaan Dananjaya, tepatnya di desa perbatasan. Warga duduk di pinggir jalan sambil menyembah menyambut kedatangan calon permaisuri Dananjaya. Pemandangan seperti itu terus berlanjut hingga ke ibu kota. Hanya saja semakin banyak warga yang berbaris.

Suara musik dari instrumen tradisional terdengar. Shanika membuka jendela. Sepertinya rombongan paling depan sudah memasuki gerbang keraton. Keret6 berhenti sejenak. Artinya sedang ada upacara penyambutan kedatangan pengantin di depan sana.

"Ini waktunya keluar," ucap Shanika.

"Caranya gimana? Kalau kamu enggak panggil aku dari depan, aku enggak bisa pindah jauh," tanya Bikasa.

Shanika mengangguk. Dia turun dari kereta. "Maaf, Putri. Tolong tetap di kereta. Akan sangat tidak baik apalabila rakyat biasa melihat wajah putri," saran salah satu penjaga.

"Itu, aku sepertinya melihat ada sesuatu di belakang kereta," dusta Shanika.

"Benarkah?" tanya penjaga bingung.

"Iya. Ayo!" ajak Shanika menuju roda sebaliknya. Shanika mengetuk kereta tanda keadaan sudah aman. Saat itu Bikasa perlahan membuka pintu. Dia melirik ke sisi kanan dan kiri. Kereta Shanika yang paling belakang sehingga penjagaan berakhir di sini.

Lucunya Shanika mengumpulkan seluruh penjaga kereta dan dayangnya untuk memastikan roda belakang kereta baik-baik saja. Meski penjaga lain mengatakan tak ada yang aneh, dia panggil yang lainnya lagi untuk memastikan dan terus saja seperti itu hingga mereka terkumpul di satu titik. Keadaan itu yang bisa membuat Bikasa turun dan lekas berlari menuju barisan warga.

Bikasa mengusap dada. Shanika bilang akan lebih baik Bikasa masuk ke dalam perkotaan karena akan ada yang mengenali pakaiannya jika terus ada dalam rombongan. Bikasa menurut saja. Nanti Shanika akan memanggilnya lagi ke dalam kereta jika acara sudah mulai.

Pemuda itu menyusuri gang kecil di antara rumah-rumah warga yang terbuat dari papan kayu. Atapnya dari jerami dan tiang rumah dibangun dengan ditahan batu cadas. Rumah-rumah yang dari bentuknya saja sudah menunjukkan kasta. Yang beralaskan tanah berada di daerah luar ibu kota dan semakin ke dalam menuju keramaian bisa dilihat rumah panggung hingga memiliki pagar.

Di antara keramaian orang yang berjualan, banyak sekali makanan. Bikasa merogoh saku. Dia memperoleh kepingan emas dari Shanika. "Pantesan punya pacar kaya itu enak. Kerja enggak, tapi bisa foya-foya," batinnya sambil tersenyum sendiri.

"Tapi ini halal enggak, ya?" pikiran Bikasa lari ke arah sana. Pada masa itu banyak orang yang mencari daging dengan cara berburu dan tidak sedikit hasil buruannya itu babi hutan.

"Memang paling aman makan jagung rebus." Hidup Bikasa terpikat dengan jagung rebus di salah satu lapak penjual yang berdagang di atas meja. Waktu kecil dulu dia sering membeli jagung rebus dari pedagang yang menjual dengan cara dipikul. Kadang jagungnya sudah tak panas lagi. Di sini dia temukan jagung rebus yang tungkunya ada di samping tempat menjual.

💐💐💐

💐💐💐

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
BIKASAWhere stories live. Discover now