20. Kakak dan Adik

1.3K 438 262
                                    

"Obit!" panggil Hatala membuat Bikasa lekas melepaskan pelukannya dengan Shanika. Mereka sama-sama membasuh tangan agar busa hilang.

"Ada apa, Bu?" tanya Bikasa. Hatala sudah berada di pintu. Matanya melirik ke arah Shanika dan Bikasa bergantian.

"Tunggu! Kenapa kamu suruh Shanika cuci piring juga? Bukannya Ibu cuman suruh kamu!" omel Tala. Bikasa nyengir. "Itu. Ibu mau bicaranya gimana, ya? Niranjana datang. Dia bilang mau ketemu kamu. Ada yang mau dibicarkan soal pekerjaan. Dia ke rumah kamu dan kata Bi Rodiah, kamu ke sini," jelas Hatala.

Bikasa saling tatap dengan Shanika. "Kenapa tidak hubungi aku saja?" tanya Bikasa kesal.

"Dia bilang kamu suka reject teleponnya."

"Menjaga perasaan kekasihku," tegas Bikasa.

Pria itu lekas keluar dari dapur menuju ruang tamu. Terlihat Niranjana duduk di sana berhadapan dengan Albi. "Papa sudah pulang kerja?" tanya Bikasa.

"Baru saja. Aku bertemu dengan Niranjana di depan. Kamu izin tidak masuk padahal ada pekerjaan yang sangat penting," omel Albi.

"Seberapa penting?" tanya Bikasa sambil mengulurkan tangan ke arah Niranjana. Wanita itu langsung memberikannya berkas yang Bikasa maksud. Bikasa periksa satu per satu berkas itu sambil duduk di samping Albi.

"Papa kamu apa kabar, Nira?" tanya Albi.

"Baik, Om. Beliau baru pulang dari Bali untuk melihat perkembangan hotel cabang kita di sana. Katanya lahan akan diperluas. Di Bali sendiri ada larangan tidak membangun terlalu tinggi. Makanya mau tidak mau kita menambahkan luas tanah," jawab Niranjana.

"Aku mengerti masalahnya. Aku ingin lihat di mana tanah yang ingin dibeli dan harganya. Proposal pengajuannya tolong cepat berikan padaku."

"Lebih baik Papa langsung pergi melihat," timpal Bikasa sambil membaca proposal. Pria itu tertawa. "Niranjana, apa kamu mengerti sistem organisasi perusahaan?" tanya Bikasa.

Niranjana tertegun heran. "Maksudnya, Pak?"

"Apa kamu datang ke sini sengaja hanya untuk bertemu denganku? Harusnya kamu cari alasan lain untuk itu." Bikasa lempar berkas ke atas meja. "Sejak kapan itu jadi tanggung jawabku?" tegur pria itu membuat Niranjana terdiam.

"Ini memang ada di bagian front office. Namun, kalau sudah menyangkut keuangan, tentu bukan bagianku. Proposal yang sudah aku berikan sesuai dengan anggaran yang diberikan ke divisiku. Bukan alasannya kamu bikin proposal keuangan yang sama dengan proposal pengajuan pendanaanku. Harusnya kamu serahkan ini pada Papamu, bukan aku!" omel Bikasa.

Albi mengambil berkas itu dan melihatnya. Dia merasa tidak enak dengan Niranjana yang dibentak putranya sendiri. "Aku minta maaf kalau aku keliru," ucap Niranjana.

"Kekeliruan ini menandakan kamu masih butuh banyak belajar, bukannya berkecimpung dalam jabatan yang harusnya dipegang oleh orang ahli." Tangan Bikasa melipat di depan dada.

"Jangan bentak anak orang begitu," saran Albi.

"Aku membentak orang yang jabatannya di bawahku dan dia butuh bimbingan atas kesalahannya. Di mana letak kekeliruanku?" protes Bikasa.

"Niranjana, Om minta maaf. Bikasa kalau memang soal pekerjaan selalu diambil serius. Lihat saja sikapnya padaku di kantor." Albi menyimpan pelan proposalnya.

Kadang kalau Bikasa sedang marah, Albi lebih suka mengalah. Sikap sabar Bikasa memang mirip dirinya. Hanya saja amarah anak itu persis Hatala. Cukup di sini pasti mengerti di mana letak Albi harus mengalah.

Bikasa melirik ke pintu dapur. Dia melihat Shanika mengintip. Rasa takut wanita itu menghilang semakin menyeruak.

"Pa, aku undur diri," ucap Bikasa.

BIKASAWhere stories live. Discover now