39. Zaman dan Waktu

1.1K 420 201
                                    

"Putri, bangun," terdengar suara seseorang mengusik waktu pagi Shanika. Gadis itu membuka matanya perlahan. Dia melihat ke berbagai sisi. Matanya berkedip heran melihat sosok dayang di sampingnya. "Maharaja ingin putri ke balai istana. Ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan para Putri dan Pangeran Dipati," ungkap dayang itu.

Shanika turun dari tempat tidur. Dia langsung berjalan menuju tempat pemandian dan berendam air bunga. "Kenapa aku bisa ada di istana lagi? Ke mana, Bikasa? Apa dia kembali ke zamannya?" pikir Shanika.

Selesai mandi, dia mengenakan pakaian kerajaan. Kemben merah dan sinjang batik dia kenakan. Rambutnya setengah terurai dengan hiasan melati dan juga mahkota kecil dari emas pun selendang yang disampirkan ke kedua bahu. Shanika dipapah menuju balai istana. Di sana sudah ada beberapa orang duduk menghadap raja. Shanika duduk di samping Niranjana.

"Ini kedua putriku, Shanika dan Niranjana. Manakah yang hendak pangeran dipati lamar untuk dipersunting menjadi permaisuri Dananjaya?" tanya Raja Argaloka.

Shanika rasanya ingat kejadian ini. Inilah saat Candrakusuma melamar Niranjana dan membuat dirinya patah hati. "Jadi waktu diulang kembali?" pikir Shanika. Dia melihat ke tengah di mana para tamu duduk bersila. Itu bukan Candrakusuma. "Iya, Candrakusuma bersekutu dengan Awuntah karena ingin menjatuhkan kakaknya. Jika waktu dikembalikan seperti seharusnya, artinya Candrakusuma masih tetap menjadi pangeran biasa," batin Shanika. Dia melihat ke barisan belakang  pangeran dipati, benar Candrakusuma ada di sana. Shanika tersenyum licik. "Dia tak jadi bereinkarnasi menjadi binatang?" pikirnya. Harusnya dia terkurung dalam goa oleh Bikasa.

"Aku mendengar kecantikan dari salah satu putrimu yang terkenal hingga ke negeri lain. Semua orang ingin menyuntingnya. Termasuk diriku. Sesungguhnya, Putri Shanika yang ingin kujadikan istri," ungkap pangeran dipati dari Dananjaya, Jayantaka.

Shanika tertegun. "Ada yang melamarku? Artinya kutukan itu telah tiada?" Para dayang saling berbisik. Kakak Shanika, Niranjana belum menikah. Namun, adiknya sudah dilamar lebih dahulu oleh banyak lelaki meski tak satu pun Shanika terima.

Maharaja menatap putri keduanya. "Bagaimana, Putriku?" tanya Raja Birawa.

Shanika menunduk. "Ayahanda, bagaimana bisa aku menerima lamaran seorang pria sementara Kakakku sendiri belum menikah. Selain itu, hatiku sudah terpaut pada seseorang. Aku tidak bisa menerima lamaran pria lainnya," ungkap Shanika.

Jayantaka berdiri. "Aku berasal dari kerajaan besar melebihi Argaloka. Bagaimana mungkin kamu patut menolakku! Padahal engkau hanya putri dari kerajaan kecil!" tunjuk pangeran itu.

"Kakang, duduklah! Tunjukan kebesaran hatimu," saran Candrakusuma.

"Tidak, Candrakusuma. Dia sudah menghinaku dengan menolak lamaranku. Itu sama saja menyulut perang!" ancam Jayantaka.

"Shanika, jangan melakukan suatu hal yang mengakibatkan amarah dari kerajaan besar," saran Niranjana. Meski dia kesal selalu saja adiknya yang dilamar.

"Bagaimana pantas kau menjadi seorang raja suatu hari nanti, sementara tak mendapatkan keinginanmu saja, amarah sudah menguasimu? Seorang raja harus wibawa, rendah hati dan menjauhkan diri dari ketamakan."

"Beraninya kau!" tunjuk Jayantaka sambil melotot dan mengeluarkan suara keras.

"Shanika! Jaga bicaramu!" tegas Birawa ikut khawatir dengan masadepan putrinya.

"Aku tidak akan memilih suami karena merasa diancam ataupun terpaksa. Seorang putri adalah harga diri negeri. Jika putri hanya diserahkan pada orang di negeri lain demi menjaga keamanan negara? Apalah arti harga diri negara itu?" timpal Shanika.

"Jadi kau hendak menyatakan perang dengan Dananjaya?" ancam pangeran itu kembali.

"Kakang, jangan sembarang mengucap," saran Candrakusuma.

BIKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang