26. Kehilangan

1.3K 434 289
                                    

"Dari sketsa yang dibuat, tak satu pun orangku menemukan orang yang sama. Dan tentang yang kaubilang kalau Niranjana memiliki bukti tentang asal-usul wanita itu, dia bahkan tak tahu dan tak mengenal. Aku sudah cek semua identitas pelamar pun dengan kepemilikan NIK. Ada yang bernama Ananta Kusuma, tapi tidak ada yang bernama Shanika Ananta Kusuma," jelas Mauvee.

"Apa orangmu bisa dipercaya?" tanya Bikasa tak percaya.

"Kamu meragukan keluatan keluarga Saransh? Dan lagi pula aku tanya pada pamanmu, papamu, ibumu, mereka sama sekali tak ingat waktu kecil kamu punya teman perempuan. Katanya malah kamu main sendirian. Terus yang kamu bilang kecemplung kolam, itu juga sendiri!" tegas Mauvee. Pria itu mengusap kening. "Heran, gimana bisa kamu berhalusinasi begitu?"

Bikasa tersenyum pelik. Dia melihat ke arah jendela. Setengah terbaring di ranjang pasien sebuah rumah sakit, Bikasa hampir menyerah saat tak juga dia temukan keberadaan Shanika. "Jadi aku hanya mimpi? Bagaimana bisa aku terbangun di lobi hotel?" tanya Bikasa masih tak percaya akan apa yang terjadi. Memori tentang Shanika dihapus dari semua orang dan hanya tersisa dalam pikirannya sendiri.

"Bit, aku dengar kamu harus mengurusi resort Heltivian yang ada di Sulawesi? Apa itu membenanimu?" tanya Mauvee.

Bikasa terdiam. Dia memainkan meremas sisi tempat tidur. "Pulanglah, aku ingin sendiri," pinta Bikasa. Dia menarik selimut kemudian berbaring.

"Entah apa yang salah denganmu. Aku bahkan bingung bagaimana menyembunyikan pada Om Albi dan Tante Tala tentang keadaanmu. Ya sudah, aku pulang. Jangan lama-lama patah hati. Rasanya bukan kamu yang bisa mikirin perempuan kayak gini. Aku pulang!" Mauvee menepuk bahu Bikasa.

Kini hanya Bikasa sendiri di sana. Matanya masih menatap kosong ke arah jendela. Angin meniup gorden. Bayangan Shanika yang sering memainkan helaian kain penutup jendela itu muncul. "Bi! Lihat!" seru gadis itu setiap kali masuk ke dalam gorden dan mengintip dari balik kain tipisnya. Kadang dia mencium aroma gorden yang menurutnya wangi.

"Berapa kali aku bilang, itu kotor! Terakhir dicuci tiga hari lalu!" omel Bikasa sambil berkacak pinggang.

"Masih wangi dan bersih, kok!" keluh Shanika. Pipinya mengembung.

Wajah lucu dan imut itu, begitu nyata untuk dibilang halusinasi. "Aku akhirnya merasakan waktu di mana senyuman kamu menjadi sakit untukku." Bikasa merentangkan tangannya, mencoba meraih bayangan Shanika yang tercipta. Dan yang dia raih hanya kehampaan.

Siksa paling sengsara adalah saat kita berusaha terlihat baik-baik saja sementara hati terasa nyeri. Bikasa tak bisa berbagi cerita. Pulang ke rumah, dia hanya duduk di ruang kerja dan menatap lukisan kaca yang masih utuh. "Harusnya ini pecah olehmu, Sha," ucap Bikasa.

Bahkan untuk makan pun, Bikasa tak ingin kenangannya hilang. "Tuan Muda, kalau makan ayam goreng setiap hari tidak baik untuk kesehatan. Nanti kalau Nyonya tahu, bisa marah." Entah berapa kali Bi Rodiah mengingatkan Bikasa akan itu, tetapi tak juga digubris.

Dan setelah sekian lama menghindari dunia, Bikasa pergi ke kantor. Dia sempat mengusap jok mobil di samping kursi pengemudi. Kini dia pergi kerja hanya sendiri, lagi. Dengan pikiran kalut, Bikasa bisa kembali ke parkiran hotel. Dia turun dari mobil dan melangkah masuk. Di lobi, para staf menunduk memberikan penghormatan.

Bikasa terus berjalan lurus tanpa memedulikan sekitar. "Pak Bikasa!" panggil seseorang. Dia menyusul karena Bikasa tak kunjung berbalik. "Apa kabar? Aku cukup kaget mendengar Anda meninggalkan acara General Staff Meeting kemarin. Aku dengar Anda sedang tidak enak badan?" tanya Niranjana.

"Kapikir karena siapa?" sindir Bikasa.

"Apa?" tanya Niranjana bingung

Bikasa berhenti. Dia tatap wajah wanita itu. "Tolong ke depannya selain masalah pekerjaan, jangan sapa aku. Ingin aku tegaskan? Aku benci padamu. Meski kamu mungkin tak tahu alasannya, tapi aku tak ingin kamu ganggu!" tegas Bikasa lalu meninggalkan Niranjana begitu saja.

Jelas Niranjana mengentakkan kaki ke lantai. "Kamu sekarang bilang tidak, Bikasa! Tapi aku akan dapatkan kamu! Lihat saja!"

Buruan keraton hari itu penuh dengan prajurit pun perangkat kerajaan berbaris menghadap ke arah singgasana tempat Raja akan memberikan pengumuman mengenai pernikahan Niranjana.

Di kamar Shanika, walau tidak seramai di tempat Niranjana, beberapa dayang hadir membawa keperluan pesta. Sebelum upacara pernikahan, akan diadakan hajatan selama tujuh hari tujuh malam. Selama itu putri dan pangeran akan menghadiri ritual untuk pengantin kerajaan baru. Apalagi Niranjana akan menjadi istri dari pangeran dipati.

Shanika duduk di depan cermin tembaga. Dia sudah mengenakan kemben hitam dan sinjang. Tak lama seorang dayang menyematkan selendang kuning di bahu Shanika. Sedang dayang lainnya memasang bunga melati di rambut gadis itu.

Tatapan Shanika masih kosong. Banyak yang berpikir dia terkena sakit batin akibat belum menerima pernikahan Niranjana. Tak lama dayang sepuh yang mengurus Shanika sejak kecil hadir di sana.

"Apakah semua sudah siap?" tanya Dayang sepuh.

"Sudah, Nyai," jawab dua dayang yang ada di sana.

"Aku mohon, tinggalkan aku bersama dengan putri di sini. Pergilah ke buruan ageung segera. Biar aku yang menuntut putri ke sana," titah dayang sepuh. Kedua dayang itu menunduk dan meninggalkan kamar.

Dayang sepuh tersenyum menatap wajah Shanika yang selalu terlihat cantik dan menawan. "Apa pun yang membuat Putri sedih hari ini, bukankah akan lebih baik menepis sejenak. Kakakmu akan segera meninggalkan istana. Mungkin kalian tidak akan pernah bertemu kembali," saran dayang sepuh.

"Kenapa kemalangan ini selalu datang padaku, Nyai. Meski ingin, aku tidak pernah diperhatikan layaknya Ayahanda memperhatikan Bayanaka dan Niranjana. Aku pun tidak pernah dimanjakan layaknya Ibunda memanjakan keduanya," keluh Shanika.

"Saat Putri hilang di hutan larangan, Raja dan Ratu sangat terpukul. Bahkan Ratu sempat tidak sadarkan diri," ungkap dayang sepuh.

"Apa aku harus hilang saja supaya mereka sadar memiliki putri bungsu?" tanya Shanika. Matanya memerah menahan air mata agar tak keluar.

Dayang sepuh mengusap rambut Shanika. "Terkadang kasih sayang orang tua memang sulit diartikan, Putri. Terasa seperti tiada, tetapi begitu besar. Apalagi seorang Raja dan Ratu yang memiliki beban akan kerajaan."

Shanika tersenyum. "Andai jikalau aku kembali lahir, aku ingin menjadi putri dari orang biasa saja," ucap Shanika. Dia menarik napas dan melihat keluar jendela. "Jika memang aku bisa terlahir kembali," batinnya.

"Lebih baik kita segera ke buruan ageung."

Shanika pegang tangan dayang sepuh. "Nyai, pernahkau dengar tentang Jayakreta?" tanya Shanika.

Dayang sepuh tertegun. "Ada apa putri menanyakan hal itu?"

Shanika tersenyum. "Aku melihatnya, Nyai. Kerajaan yang dikatakan dalam dongeng. Dan aku ingin kembali ke sana. Priaku ada di sana, Nyai. Bantu aku kembali ke sana," pinta Shanika dengan penuh harap. Dayang sepuh menarik napas panjang.

"Geulis, perkataan ini, cukuplah dikatakan padaku. Jangan sampai Ratu atau Raja mendengarnya. Putri akan dibawa untuk bertapa jika terus berucap demikian. Jayakreta itu negeri ghaib. Di sana banyak siluman yang memakan jiwa manusia. Sebaiknya putri tetap di Argaloka dan menjauhi hutan larangan!" tegas dayang sepuh.

💐💐💐

💐💐💐

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
BIKASAWhere stories live. Discover now