5. Rumah

1.9K 634 227
                                    

Mobil milik Bikasa menepi di carport rumah. Halamannya cukup besar. Memiliki taman simetris dengan air mancur di tengah jalan rumah. Pohon-pohon cemara dipilih sebagai penghuni taman yang dialasi tanah berumput. Gerbang rumah yang tinggi dicat hitam dan tepat di sisinya dibangun pos satpam.

Carport rumah berhadapan dengan teras yang langsung akan terhubung ke garasi. Tempat itu cukup untuk memarkir tiga mobil, sedang di garasi cukup untuk empat mobil dan dua motor.

Turun dari mobil, Shanika bisa melihat tiang menjulang yang menahan dua lantai di atas rumah. Ada balkon utama yang menghadap ke depan. Teras terhias lantai marmer dengan bentuk melengkung. Fasad rumah terlihat mewah dengan gaya modern sehingga lebih ramping. Ada sebuah rangka lampu menggantung di langit-langit teras.

"Ini istana? Jadi kamu itu seorang pangeran?" tanya Shanika. Bangunan itu sangat megah hingga memancing rasa takjubnya.

"Iya, aku seorang pangeran. Raja tidak tinggal di sini, tetapi di istana lain. Tempat tadi putri bertemu denganku adalah kerajaanku. Beberapa orang yang sempat putri temui merupakan rakyatku." Bikasa bingung harus menjelaskan pekerjaannya. Akhirnya dia harus membuat sebuah pengandaian.

Sayangnya, Sang Putri mengangguk saja percaya. "Masuklah!" ajak Bikasa. Bahkan sebelum masuk pun, Shanika sempat mengusap tiang rumah. Bikasa membuka pintu. Dia buka sepatu tepat di bagian entrance dan mengganti dengan sandal kodok hijau yang memiliki sticker kodok di bagian depannya.

"Putri lebih baik ganti alas kaki terlebih dahulu," saran Bikasa.

Mata Shanika berpaling ke kaki Bikasa. Dia mengedip-ngedipkan mata. "Alas kaki semacam apa itu?" tanya gadis itu bingung dengan bentuk sandal Bikasa yang mengembung di bagian depan.

Bikasa menurunkan sandal jepit. "Putri bisa mengenakan ini. Alas kakiku tak perlu dikomentari. Aku nyaman dengan ini di rumah," jelasnya.

Shanika melepas sepatunya yang bertahta emas. Dia ganti dengan sandal jepit yang diberikan Bikasa. "Apa ini kulit lembu?" tanya Shanika merasa heran dengan alas kaki terasa nyaman.

"Itu karet seperti yang digunakan untuk pelontar."

"Bahkan mereka membuat karet menjadi alas kaki." Shanika melirik ke dalam rumah. Di bagian entrance ada lemari dengan guci-guci mahal sebagai pajangan. "Gerabahnya cantik," puji gadis itu.

"Percayalah, Putri jauh lebih cantik."

Mendengar itu wajah Shanika merona. Dia ikuti Bikasa masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah ada lampu kristal menggantung. Tentu itu membuat Shanika sedikit menjauh. "Apa itu bisa putus dan menimpaku?" pikirnya.

"Aku antar Putri ke kamar. Biar Putri istirahat. Pelayanku akan membelikan Putri pakaian. Putri harus berbaur agar tak terlihat kentara." Bikasa naik ke tangga.

Di sana, dia bertemu dengan pembantunya, Bi Rodiah. "Astaga, Tuan. Eta mawa saha (itu bawa siapa)?" tanya Bi Rodiah kaget.

"Ini teman aku. Nanti aku jelasin sama Bibi. Sekarang mau aku anterin ke kamar."

"Astaghfirullah. Mun Nyonya Ibu tahu, nanti Tuan dimarahi. Apalagi kalau sampai Tuan Papa, dinikahin langsung ini, Tuan!" omel Bi Rodiah yang sudah mengasuh Bikasa sejak SD.

"Aku enggak ngapa-ngapain. Masalah aku harus tanggung jawab," jelas Bikasa.

"Tuan hamilin anak orang? Sudah berapa bulan? Ya Allah, Tuan Papa sudah pasti ngamuk ieu!"

Bikasa menepuk kening. "Enggak gitu ceritanya, Bi. Nanti aku jelasin!" omel Bikasa.

Shanika berdiri diam di belakang pria itu. Dia mengedip-ngedipkan mata setiap kali Bi Rodiah bicara. Gadis itu tak berani mendekat. "Ayo, Putri!" ajak Bikasa. Bahkan ketika melewati Bi Rodiah, Shanika sampai menempel ke railing tangga takut bersentuhan dengan wanita itu.

Tiba di kamar tamu, Shanika berdiri dekat pintu. Dia masih tak berani masuk. "Ini tempat Putri tidur. Putri tunggu dulu, biar aku minta pinjam pakaian dari Bibiku."

Bikasa meninggalkan Shanika sendiri di sana. Kali ini Shanika tak ingin salah jalan. Dia benar-benar menunggu di sana. Sedang Bikasa menaikan alis.

"Da gimana atuh? Bibi adanya itu saja," jawab Bi Rodiah ketika memberikan Bikasa daster.

"Masa aku pakein dia daster, Bi?" tanya Bikasa bingung.

"Pinjem punya Nyonya Ibu saja," saran Bi Rodiah.

"Aku bisa mati digantung Ibu di pohon cereme, Bi."

"Lagian Tuan bawa siapa itu teh? Jangan sok aneh-aneh atuh. Nanti enggak boleh tinggal sendiri sama Nyonya Ibu geura!"

Bikasa memang sudah tinggal di rumah sendiri sejak selesai kuliah dan bekerja. "Bi, aku enggak sengaja nabrak dia. Mana dia hilang ingatan. Kalau sampai polisi tahu, aku bisa dipenjara, Bi. Mau?" dusta Bikasa.

"Astaghfirullah. Terus kumaha atuh, Tuan? Untung dia masih hidup."

"Ya kita tunggu sampai dia ingat. Biar nanti kalau ingat aku kembaliin ke keluarganya. Dia enggak bawa identitas," jelas Bikasa.

"Makanya atuh, ya! Kalau jalan-jalan biasain bawa KTP. Lain ini mah KTP dibawa ke pinjol. Ya atuh, jadi cilaka (celaka)."

Kembali ke kamar, Bikasa bantu Shanika dengan menyiapkan air mandi di bathtub. Dia yakin putri itu pasti mandi di kolam khusus tempat para putri berendam. Karena itu dia perlakukan sama. Bahkan Bikasa menjelaskan cara memakai daster dan celana pendek ada gadis itu.

Takut kenapa-kenapa, Bikasa menunggu di luar kamar mandi. Tak lama Shanika keluar memakai daster milik Bi Rodiah. Untung saja Bi Rodiah tubuhnya tak terlalu gemuk sehingga cocok saja dipakai Shanika. Rambut gadis itu terurai panjang hingga ke pinggang.

"Ada ya wanita pakai daster bisa bikin jantung berdebar enggak karuan," batin Bikasa. Tak lama pria itu berdeham. "Kita akan pergi belanja pakaian ke pasar. Biar Putri melihat bagaimana zaman ini dan terbiasa. Di sana Putri ikut saja aku. Tidak pergi tanpa izin. Kita belajar perlahan."

Shanika mengangguk. Dia menunjuk sandal Bikasa. "Aku ingin alas kaki itu," pintanya.

Bikasa memundurkan kakinya. "Maaf, Putri. Ini sandal kesayanganku. Aku tidak akan memberikan ini pada siapapun," tolak Bikasa. Sandal kodok ukuran besar yang memiliki sticker kartun kodok itu memang Bikasa pesan secara pribadi. "Nanti akan aku belikan. Tenang saja. Hanya tidak sekarang."

Barulah Shanika tersenyum. "Di zaman ini, orang memakai batik sebagai atasan, ya?" tanya Shanika. Biasanya dia memakai kemben atau kebaya di bagian atas. Sedang sinjang batik biasa dikenakan sebagai rok.

"Iya, begitu," jawab Bikasa sambil nyengir.

Shanika melihat-lihat isi ruangan. Dia menyentuh kasur dan tersenyum. "Aku suka ini. Lebih nyaman dari kursi di tempat tadi," ucap Shanika.

"Di dalamnya ada busa. Itu yang membuatnya empuk. Kenyamanan itu namanya empuk," jelas Bikasa.

"Empuk." Shanika mengulang ucapan pria itu. Dia coba duduk di atas kasur dan sedikit menggerakkan tubuhnya ke atas dan ke bawah. Terdengar tawanya walau pelan. Dia memang tidak diizinkan untuk tertawa terlalu keras.

💐💐💐

💐💐💐

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
BIKASAWhere stories live. Discover now