31. Resi

1.1K 409 281
                                    

Berjalan sambil memakan jagung, Bikasa masih menikmati suasana di tahun itu. Orang menghabiskan waktu dengan bercengkerama bersama tetangga dan keluarga. Tak ada televisi atau ponsel yang menjadi sekat. Tahun di mana netizen yang budiman belum lahir ke dunia pun bigos alias biang gosip. Saat itu hanya ada peru alias penyebar rumor.

Setiap piri-umpi memiliki lumbung lumbung tempat menyimpan padi, singkong, dan jagung sendiri. Dia baru tahu sepanjang perjalanan dari Argaloka hingga ke Dananjaya tak ditemukan sawah. Lain dengan di zaman modern di mana Karawang saja menjadi salah satu lumbung padi. Masyarakat Sunda saat itu menghidupi diri dengan berladang. Padi ditanam di kebun layaknya menanam singkong.

Menurut buku karya Edi S. Ekadjati berjudul Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, informasi penggarapan sawah dimulai di abad ke 17 atau sekitar tahun 1600an masehi. Cara tersebut dipraktekkan oleh orang jawa yang sengaja didatangkan.

Semakin dalam Bikasa berjalan, dia mulai melewati semak belukar kemudian ladang padi yang tumbuhnya lumayan tinggi. Semakin dalam hingga akhirnya masuk dalam perkampungan lain. Di sini hanya ada beberapa rumah dari bambu dan lantainya dibuat tinggi, jauh dari tanah. Itu untuk melindungi diri dari babi hutan.

Kampung ini tampak hening seakan tak ada aktivitas. Hanya saja ditengahnya ada tumpukan batu berbentuk seperti candi dan dipinggirnya diberi sesajen berupa makanan. Tercium bau kemenyan. Aroma kuat yang sebenarnya membuat bulu kuduk merinding.

"Saha anjeun?" tanya seseorang muncul di belakang Bikasa.

Pria itu berbalik. Seorang pria dengan pakaian hitam kini berdiri di depan Bikasa. "Sampurasun, perkenalkan aku Bikasa dari Argaloka. Kemari mengantarkan calon permaisuri bagi pangeran dipati," ungkap Bikasa.

Pria itu menatap Bikasa dengan lekat. "Kau datang dari jauh sekali," ucap pria itu.

"Benar. Argaloka memang sangat jauh dari sini," jawab Bikasa dengan tenang. Dia tak ingin menarik kecurigaan.

"Bukan Argaloka. Tapi lebih jauh dari sini. Bukan hanya terukur jarak, tetapi waktu. Kepercayaanmu adalah kepercayaan yang sama dengan yang dibawa pedagang dari Arab. Kepercayaan yang di masa mendatang mengalah kepercayaan akan leluhur."

Mata Bikasa menyipit. Pria di depannya seakan bisa mengetahui masa depan. "Aku datang dari waktu lima ratus tahun setelah ini." Sengaja Bikasa mengungkapnya.

Pria itu tersenyum, menunduk sejenak kemudian mengusap dagu. "Ini adalah kabuyutan, tempat yang dijaga kesuciannya. Di mana ajaran leluhur dijunjung tinggi."

"Anjeun seorang resi?" terka Bikasa.

"Muhun, kawula," jawabnya.

Bikasa melihat ke arah langit. Tak lama dia kembali menatap pria itu. "Aku ingin bertanya akan sesuatu pada seorang yang luhur kebatinannya."

Resi itu mengajak Bikasa duduk di teras rumah yang didasari bambu. Mereka duduk bersila saling berhadapan. Sang resi seakan sudah tahu akan kedatangan Bikasa padanya.

"Aku melihat ilmu yang kuat dalam dirimu. Anugerah yang tidak manusia biasa miliki," puji resi.

"Sesungguhnya jika resi mengetahui tentang Awuntah, tentu akan tahu pula kenapa kekuatan ini ada dalam diriku."

Resi melihat ke arah kedalaman hutan. "Bersekutu dengan siluman maka akan kelam hidupnya. Apalagi digunakan untuk mencelakai banyak orang."

"Itulah yang dilakukan ayahandaku, Widyuta," ungkap Bikasa.

"Dia telah bertapa dan menebus dosanya. Namun, dosa di masa lalu tak bisa diampuni. Perlu berkali-kali ditebus di kehidupan selanjutnya."

"Serupa dengan apa yang salah satu hambaku jelaskan." Bikasa kini semakin yakin Awuntah merusak Jayakreta dengan tipu daya. Hal yang dilakukan pula pada Shanika, menipu gadis itu seakan melakukan dosa besar agar Shanika menebus melalui pertapaan dan moksa hingga lingkaran reinkarnasinya terputus.

"Apa resi tahu mengenai perjalanan waktu. Datang dan pergi ke masa dahulu atau masa mendatang?" tanya Bikasa.

"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke; aya ma baheula aya tu ayeuna, henteu ma baheula henteu tu ayeuna," ucap sang resi.

"Maksudnya?" tanya Bikasa.

"Tiada datang hari ini tanpa ada masa lalu. Karena itu leluhur adalah sesuatu yang penting pun dengan ajarannya. Apa yang dilewati hari ini adalah hasil perbuatan di masa lalu. Karena itu kabuyutan dibangun, untuk menegakkan dewasasana pun menghargai perjuangan leluhur," jelas resi.

"Apa hubungannya dengan pertanyaanku?" tanya Bikasa bingung.

"Itu jawaban pertanyaanmu," tegas sang resi.

Setelah perbicangan yang lama tersebut, Bikasa kembali ke Dananjaya. Dia tidak tahu nama desa letak kabuyutan tadi. Dia hanya tahu itu milik Pakuan Pajajaran. Berjalan mendekati keraton, terdengar suara musik yang begitu keras. Upacara pernikahan masih berlangsung. Bikasa berdiri di sebuah pohon jati. Dia berpikir dengan keras.

"Apa jawabannya?" tanya pria itu. Dia menutup mata, mengingat semua petunjuk yang mungkin dia lewatkan.

Bikasa mengingat saat Selly, salah satu temannya yang merupakan Arkeolog datang ke rumah diantar Mauvee. Kejadian itu memang sudah dihapus dari waktu. Selly sempat bertanya tentang tempat di mana pedang Bikasa berada.

"Apa tempat itu ada sebuah batu dan dua buah makam?" tanya Selly waktu itu.

"Ada. Hanya saja tempat pemujaan dewa tak jauh dari sana. Di bawah pohon beringin hutan dan dekat dengan aliran sungai yang memiliki air terjun kecil. Di sana ada sebuah batu yang diikat kain kuning dan berdiri di atas undakan batu lainnya," jawab Bikasa

Tio melirik Shanika. "Kekasihmu menemukan sesuatu di bawah batu dekat makam Raja dan Ratu. Tanyakan apa yang dia temukan di sana," pinta Tio.

Dan saat itu Shanika belum menjawab. "Kabuyutan! Jawabannya ada di sana. Sebuah tempat di Jayakreta yang akan tetap terjaga kesuciannya."

Shanika masih duduk di belakang Bayanaka. Penari temgah memberikan penampilan mereka di tengah ruangan tempat penyambutan dilaksanakan. Niranjana dan Candrakusuma telah resmi menjadi suami istri. Keduanya duduk di bawah singgasana raja sebagai wujud kalau merekalah yang akan meneruskan tahta Raja dan Gusti permaisuri.

Shanika sesekali melirik ke arah luar. Dia merasa khawatir dengan Bikasa. Apalagi dia pun pernah berada dalam posisi hidup di tempat terasing.

Saat matanya berpindah pada Niranjana, tatapan itu bertemu dengan Candrakusuma. Meski ditepis pun, tatapan Candrakusuma tak bisa dibantah penuh akan rasa cinta. Shanika memalingkan pandangan. "Apa dia tak takut berdosa. Bagaimana pria bisa begitu mudah berpaling pandangan pada wanita lain? Kenapa kakakku harus mendapatkan pria seperti itu?" batin Shanika.

Kecantikan Shanika tidak hanya membuat iri kakak dan perempuan lain di Argaloka. Bahkan kecantikannya tersohor hingga negeri jauh. Tidak heran pria manapun akan jatuh hati saat pertama bertemu. Dan Shanika merasa beruntung dengan kutukan itu karena dengan begitu Candrakusuma tidak akan memilikinya.

"Shanika!" panggil Bayanaka sambil berbisik. Shanika memiringkan tubuhnya agak ke depan. "Pamitlah lebih dulu. Aku akan berikan titah pada senapati untuk membawamu pergi. Aceuk akan menyusul setelah ini," ucap Bayanaka. Sepertinya dia pun bisa membaca tatapan mata Candrakusuma. "Akan lebih baik aku melindungi perasaan kedua adikku."

"Baik, Kakanda."

*Aceuk = kakak

💐💐💐

💐💐💐

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BIKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang