28. Panggilan Hati

1.1K 431 293
                                    

"Bikasa!" panggil seseorang di tengah tidur pria itu. Bikasa tersadar. Dia duduk tegak. Semalaman mengerjakan tugasnya, dia tertidur di meja kantor di rumah.  Kedua temannya sudah berdiri di depan meja. Mereka mengenakan pakaian hitam.

"Shanika ada di sana!" tunjuk kedua anak itu ke arah luar jendela.

"Di mana? Tunjukkan padaku tempatnya?" pinta Bikasa.

Anak-anak itu merogoh tas jerami dan sama-sama mengeluarkan daun hanjuang. "Di bawah pohon jamuju. Banyak hanjuang tumbuh."

"Hatur nuhun," ucap Bikasa.

"Sawangsulna, Acalandra." Kedua anak itu menghilang. Besok setelah dari hotel, Bikasa akan berusaha menemukan tempat itu. Jamuju sudah mulai langka dan akan lebih mudah menemukan tempat itu. Pohonnya pun tinggi menjulang sehingga tidak mudah tertutupi pohon lainnya. Shanika seakan sengaja menempatkan dirinya agar mudah ditemukan.

Pagi itu setelah berpakaian, Bikasa sarapan kemudian pamitan pada Bi Rodiah. "Tuan, kata Nyonya Ibu besok jangan lupa. Bibi diminta kasih tahu," ungkap wanita paruh baya itu.

"Bertemu dengan Nadya? Aku tidak lupa. Hanya saja mungkin aku pulang agak malam, Bi. Aku ada urusan," ungkap Bikasa.

"Baik, Tuan."

Bikasa menyetir mobil menuju hotel. Turun di depan lobi, dia berikan kunci ke petugas valet. Pria itu masuk ke dalam. Matanya tertuju ke meja resepsionis dan menemukan seorang pria yang dia kenal di sana. Tanpa ragu, Bikasa hampiri. "Tio?" tanya Bikasa memastikan.

Pria itu berbalik. Dia mengangguk. "Bikasa temannya Mauvee?" tanya pria itu.

"Iya. Apa kabar?" tanya Bikasa. Dia tahu pasti ingatan Tio pun turut terhapus. Mereka duduk di kursi restoran hotel sekarang untuk berbincang.

"Aku tinggal di Cianjur sudah lama. Aku di sana punya hutan lindung. Sengaja untuk melestarikan alam," jelas Tio.

"Oh, pasti menyenangkan hidup di alam terbuka," timpal Bikasa sambil meminum kopinya.

"Iya, apalagi membayangkan di sana ada kerajaan besar yang istananya tidak hancur dimakan zaman," ungkap Tio.

Bikasa tertegun. Mereka berdua saling tatap. "Aku punya pohon Jamuju tinggi yang sekitarnya ditumbuhi hanjuang. Dari sana terdengar suara sungai kecil," tambah Tio.

Bikasa menyimpan cangkirnya perlahan di atas meja. "Sebenarnya kamu siapa?" tanya Bikasa merasa heran atas ucapan Tio yang begitu sama dengan apa yang Bikasa cari.

"Aku ingin moksa, tapi sadar ada yang harus aku perbaiki. Moksa bukan artinya seseorang akan hidup kembali. Manusia yang moksa terputus dengan dunia dan tentu tidak akan kembali terlahir. Orang yang terlahir kembali memiliki dosa atau mungkin sesuatu yang belum diselesaikan di masa lalu. Seperti engkau, Maharaja Acalandra Harjasa," ungkap Tio.

Pupil mata Bikasa melebar. "Kamu tahu tentangku?"

"Aku lahir kembali atas sebuah janji. Aku akan setia padamu bahkan di kehidupan selanjutnya." Tio melirik ke sisi kanan dan kiri. "Sepertinya Awuntah sudah mengacaukan persepsimu."

"Siapa dia?" tanya Bikasa.

"Ular itu. Jika pun Ratu Shanika tidak kembali lahir, artinya dia telah moksa setelah melakukan tapa. Kenapa dia melakukan tapa, untuk menebus dosa. Dan Awuntah yang ...."

"Membuat Shanika merasa melakukan dosa dan telah menjadi pengikutnya?" terka Bikasa.

"Benar. Akhirnya Prabu mengerti."

Bikasa tersenyum meski hatinya nyeri. Dia sudah dikacaukan ular itu. Ada beberapa naskah yang sengaja diubah. Termasuk tentang kelahiran kembali. "Aku tidak ingat dirimu. Tapi terima kasih atas segalanya. Terima kasih sudah mau menjaga makam kekasihku."

"Dia datang karena Prabu memanggilnya. Hanya waktu dia telah habis. Kini harus dia yang memanggilmu," tambah Tio.

Sore itu Bikasa pergi ke tempat yang Tio maksud. Dahulu kala Tio seorang walka dan dia sering melakukan perjalanan. Sesuai dengan apa yang diakui, dia lahir dari tanah jawa di masa Majapahit. Langkahnya membawa dia sampai ke Jayakreta dan bertemu dengan Bikasa. Artinya memang sesuai penuturan Tio, Bikasa pernah hidup di masa itu. Kemudian takdir diubah hingga Bikasa tak bisa lahir dengan semestinya.

"Hei, akhirnya aku temukan kamu di sini. Kamu benar. Di tempat mana pun kamu berada akan ada selalu bunga mawar. Di sini juga ada." Bikasa menyentuh salah satu bunga mawar putih yang tengah mekar di sana. Kabut mulai menipis dan cahaya matahari menyapa dengan kelembutan. Pohon Jamuju berdiri dengan gagah melindungi hanjuang di sekitarnya.

Semak belukar tumbuh, menyembunyikan kecantikan wanita yang terkubur di sana. Tiga pohon hanjuang tubuh berbaris. Dengan daunnya yang merah, seakan menjadi lukisan warna bibir pemilik tubuh yang kini terbaring tanpa jiwa.

"Besok aku akan bertemu dengan seorang wanita. Kamu bilang padaku, tak apa jika bukan kamu yang aku nikahi. Asal jangan hilangkan cintaku untukmu. Tapi aku tak kuat berdiri di sini sendiri sambil mencintaimu. Karena pada masa apa pun, aku akan terus terkurung rindu. Izinkan aku lupa senyummu, Sha. Izinkan aku hapus suara kamu dari benakku. Aku ingin kita lepaskan ikatan yang tidak pernah bertemu ini. Karena hanya hati kita yang bisa melakukannya. Aku biarkan kamu pergi."

Shanika duduk di atas kereta. Rombongan itu akan menuju Dananjaya untuk mengantarkan Niranjana. Shanika menyibak sedikit kain penutup jendela keretanya. Meski masih sore hutan di depan sana tertutup kabut, hutan larangan yang Shanika tahu tempat di mana Jayakreta berdiri. Tatapan Shanika menurun. Dia remas rangkaian melati di rambut yang menjuntai hingga ke pangkuan.

"Aku ingin turun dan mencari Bikasaku sendiri. Di mana kamu sekarang, Bi? Apa masih di sana bermain dengan temanmu. Aku di sini," batin Shanika. Matanya tak bisa lepas dari pemandangan lepas di luar sana.

Kereta beberapa kali berguncang karena melewati jalanan berbatu. Air mata Shanika jatuh. "Bikasa!" panggilnya begitu dalam.

Suara Shanika seakan menjadi gema di telinga Bikasa. Pria itu berdiri dan menatap ke arah langit. "Shanika?" tanya Bikasa heran. Suara itu begitu akrab dia dengar dan Bikasa yakin itu suara Shanika.

Bikasa menunduk hendak melihat makam Sang Putri, tetapi hanya tersisa rerumputan di sana. Terdengar suara binatang hutan. "Ke mana hanjuang dan mawar di sini?" tanya Bikasa bingung. Dia ambil ponselnya. Tiada keberadaan sinyal telepon di sana. Jam tangan pun mati.

"Tidak mungkin," batin Bikasa. Dia berbalik dan berlari ke arah jalan keluar hutan. Mobilnya hilang dan jalanan aspal di gerbang itu berubah menjadi jalan lumpur. Bikasa melihat dari kejauhan ada jalan yang terpisah oleh lereng. Ada banyak cahaya yang berjalan. Bikasa berlari ke arah cahaya itu. Dia menuruni lereng sambil berpegangan pada pepohonan. "Tidak mungkin! Apa ini benar? Shanika? Shanika!" panggil Bikasa.

Shanika tertegun. Meski samar bisa dia dengar seseorang memanggil dari kedalaman hutan larangan yang hanya terpisah lereng tak terlalu terjal dari jalan yang dia lalui. "Bi! Bikasa," batin gadis itu.

💐💐💐

💐💐💐

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
BIKASAWhere stories live. Discover now