22. Ular Hijau

1.2K 433 317
                                    

Malam itu seperti biasa penuh dengan kesunyian bagi Bikasa. Keheningan yang membuat rasanya bangkit pada sisi paling peka. Akan ada sesuatu pada malam itu. Sesuatu yang mungkin buruk bahkan mungkin terburuk. Sesekali dia bangun dan pergi ke kamar Shanika. Gadis itu masih tertidur pulas. Dan sejenak ada yang meringsak dalam pikiran. "Semua akan baik-baik saja, kan?"

Melirik ke arah jam dinding yang bertengger di dinding, Bikasa menahan napas sejenak kemudian dia embuskan. Tangannya dimasukkan ke dalam kantung piyama. "Harusnya memang aku tidur," ucap pria itu. Dia keluar dari kamar Shanika. Tersenyum sesekali Bikasa. Esok dia janji akan mengajak wanita itu jalan-jalan. Hari yang sudah terasa bahagia bagi Si Pria.

Rasa aneh itu coba dia tepis. Iya, semua akan baik-baik saja. Naik ke atas tempat tidur, Bikasa menarik selimut sambil meluruskan kakinya. Namun, bau anyir terasa menyengat ke hidung. Bikasa kembali turun. Dia berdiri dan lari ke balkon.

Makhluk yang selama ini tidak pernah menemui dirinya, kini mewujud di depan Bikasa. Kepalanya masih lebih tinggi dibandingkan balkon kamar Bikasa di lantai dua. Lendir hijau melumuri sisiknya yang saling menyusun seperti genting. Bentuknya datar dan halus berwarna hijau Cyanine. Begitu mengkilap meski tiada cahaya yang menyinari.

Bau yang dihasilkan seperti mengobok perut. Memaksa kerongkongan menarik kembali makanan yang lewat melaluinya. Mata merah menyala makhluk itu bertatapan dengan Bikasa.

"Apa kamu tidak pernah membersihkan diri?" tegur Bikasa.

Ular itu tertawa hingga mengeluarkan gema yang lumayan keras. Hanya saja suara itu tak terdengar oleh manusia pada umumnya. "Sepertinya bauku menganggumu Acalandra?"

"Pikirkan saja olehmu sendiri. Memang kamu tidak bisa mencium bau? Atau hidungmu bermasalah?"

Kembali tertawa makhluk itu. Hingga saat ini masih tidak terasa menakutkan bagi Bikasa. Ular itu memanjangkan leher. Semakin dekat wajahnya dengan Bikasa. "Kaumasih sama kuatnya seperti saat dulu kita bertemu," ungkap ular itu.

"Jadi benar kausudah merubah masa depan? Kalau kita pernah bertemu, tentu saat itu aku harusnya masih hidup. Kau tidak mungkin berani melawati wilayah Ki Ajar," terka Bikasa.

"Pikiranmu memang lain dengan ayahmu. Kau pintar dan kuat. Berwibawa dan bersahaja. Sayangnya, kautak boleh hidup di masa apa pun, wahai keturunan Witaradya!"

"Pernah dengar kisah Firaun yang berusaha membunuh Musa? Dia tak ingin mati karena itu berusaha melenyapkan penyeban kematiannya. Pada akhirnya Firaun mati juga. Kamu pun sama!" Bikasa langsung memberikan ancaman.

"Apa yang kaupunya untuk melenyapkanku. Kini kauhanya anak manusia biasa dan kelemahanmu ada dalam genggamanku. Putri Argaloka, wanita yang lahir dengan kutukan, Shanika Ananta Kusuma telah menjadi budakku."

Bikasa menunjuk ular itu. "Pasti ada alasan kau diam di sana tanpa berani menyentuhku." Perlahan Bikasa maju dan ular itu mundur. "Kau tak bisa menyentuhku!" Senyum Bikasa terkembang.

"Suatu hari ketika aku bisa melakukan itu, aku pastikan kau akan jadi budakku seperti Widyuta."

Bikasa mengangkat tangannya. Tatapan tajam pria itu seakan terus menantang makhluk di depannya. "Ular sudah sejak lama menjadi lambang dari malapetaka dalam kepercayaan Jayakreta. Dan macan sudah menjadi lambang kekuatan. Ular mungkin punya bisa. Namun, macam Jayakreta memiliki ini."

Api biru muncul dari tangan Bikasa dan seketika ular lenyap seperti kepulan asap hijau yang tertiup angin. "Dia takut dengan itu." Api di tangan Bikasa ikut hilang.

"Api di tanganku mungkin bisa menyakitinya. Hanya saja untuk melenyapkan makhluk itu perlu api yang lebih kuat. Dan itu ada pada, pedang!"

Bikasa berlari ke kamar Shanika. Dia pastikan gadis itu masih ada di sana. Syukur Shanika masih tertidur pulas. Bikasa mengembuskan napas lega. Dia berdiri di pintu kamar. "Dia sudah mendapatkanmu dan kapan saja bisa dia ambil. Aku harus segara menemukan di mana raga ular itu dan melenyapkannya." Tangan Bikasa mengepal.

Pagi hari Shanika sarapan dengan senyum yang lebar. Dia tak tahan untuk berpetualang lagi di zaman ini. "Pakaianku bagus, kan?" tanya Shanika sambil berputar di depan Bikasa. Roknya mengembang.

"Kamu selalu cantik, apa pun yang kamu kenakan," puji Bikasa.

"Kalau aku pakai baju Bi Rodiah, masih cantik?"

"Apa pun. Bahkan saat memakai bajuku, kamu masih cantik," puji Bikasa.

Shanika pernah memakai kemeja Bikasa. Hasilnya bagian bawah kemeja itu sampai ke lutut dan perlu dilipat berkali-kali hingga tangan Shanika tidak tenggelam.

"Sarapan dulu, Sha."

"Apa itu sarapan?" tanya Shanika terlihat bingung.

"Makan di pagi hari. Duduklah."

Shanika duduk di atas kursi makan. Dia melihat makanan yang sudah tersaji di piring. "Jadi hari ini kita tidak ke hotel lagi?" tanya Shanika. Dia mulai terbiasa makan sambil bicara.

"Kamu bilang ingin jalan-jalan. Kalau masih ingin ke hotel, aku tidak masalah," timpal Bikasa.

"Ayo! Aku siap, Bro!" seru Shanika.

"Kamu pasti belajar dari Mauvee lagi, kan?" tanya Bikasa.

"Dia follower tiktoknya banyak. Semua yang berkomentar wanita. Dia memang tampan, sih?" komentar Shanika.

"Mana yang lebih tampan? Aku atau Mauvee?"

Shanika tersenyum malu. "Papa Albi," jawab Shanika.

Selesai sarapan pasangan itu meninggalkan rumah. Shanika duduk di mobil. "Mau ke man kita!" tanya Shanik meniru suara Dora the Explorer. Dia menonton kartun itu seharian hingga hafal lagunya.

"Ikut saja," jawab Bikasa sambil mengusap rambut Shanika.

Sementara Niranjana berjalan dengan angkuh di lorong kantor. Dia tersenyum sinis pada beberapa karyawan. "Sekarang mereka berani membicarakan keburukanku. Lihat saja, aku pasti akan singkirkan wanita itu sekarang juga!"

Tiba di depan lift, asistennya membantu menekan tombol. Tak lama pintu lift terbuka. Masuk ke dalam, Niranjana bertemu dengan Candrakusuma. "Hari ini kamu rapi sekali, demi menjilat pada RDM, kah? Aku dengar kamu ingin dipromosikan untuk naik jabatan setelah posisi General Manager digantikan."

Candrakusuma tersenyum licik. "Lalu bagaimana dengan kamu yang masih berusaha mengejar perasaan Bikasa sejak dulu? Tentu kamu terguncang mendengar kabar pernikahannya. Calonnya sangat cantik." Candrakusuma menatap Niranjana. "Kamu jauh kalah dibandingkan wanita itu."

Dengan kesal Niranjana menginjak kaki Candrakusuma. "Jangan macam-macam denganku! Aku sudah mengantongi identitas wanita itu."

"Benarkah? Bagaimana caranya?"

"Pintarlah sedikit, Candrakusuma. Pantas saja kamu sering dibandingkan dengan adikmu! Ingat salah satu orang suruhanku ada yang bekerja di lembaga milik pemerintah."

Candrakusuma mengangguk. "Aku harap kamu sukse atas apa yang kamu lakukan. Jangan seret aku untuk hal ini kalau sampai gagal! Ingat! Tujuan kita berbeda sejak hubungan kita berakhir."

Pintu lift terbuka. Candrakusuma melangkah keluar lebih dahulu. Niranjana mengikuti. "Tentu saja, siapa yang butuh pria tidak berguna sepertimu?"

💐💐💐

💐💐💐

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
BIKASAWhere stories live. Discover now