41. Masa Depan

1.3K 441 242
                                    

Suara alarm berbunyi dengan lantang di kamar. Perlahan kedua mata hitam itu terbuka. Bikasa menengok ke arah meja. Sudah pukul empat pagi. Dia turun dari tempat tidur dan mengusap wajah. Senyumnya terkembang. "Aku akan temukan kamu, Sha," ucapnya.

Selesai sarapan, Bikasa langsung mengambil tas. "Tuan muda, kata Nyonya Ibu jangan lupa hari ini datang tepat waktu dan doa dulu. Pan Tuan Muda mau naik jabatan," ucap Bi Rodiah.

"Ini mau berangkat langsung, kok. Gak mampir dulu janji. Doakan aku ya, Bi," pinta Bikasa.

"Pokoknya harus jadi pimpinan yang jujur, jangan suka korupsi. Tuan muda terlalu ganteng buat pakek seragam oren," saran Bi Rodiah.

"Bibi ada-ada saja. Ya pasti aku akam jadi pimpinan yang bertanggungjawab dan membuat bangga bangsa dan negara," tegas Bikasa.

Dia langsung berjalan menuju carport untuk mengambil mobil. Perjalanan mulai Bikasa lalui. Hotel Heltivian saat itu dihias dengan rapi untuk menyambut Room Division Manager yang baru. Para staf dan karyawan banyak berbincang. Dibandingkan membahas masalah Bikasa yang naik jabatan karena putra General Manager, mereka lebih terpaku dengan rumor akan ketampanan pria itu.

"GM saja sudah setua itu masih tampan dan gagah, apalagi putranya," bahas salah satu resepsionis.

"Banyak yang bilang dia jauh lebih tampan dibandingkan GM," komentar yang lain.

"Dia kuliah di Amerika dan berasal dari sekolah elite. Yang akan jadi calon istri dia pasti sangat beruntung."

"Andai saja itu aku." Para wanita itu berseru dengan histeris. Saat para cleaning service lain mengobrol, ada seseorang yang masih mengepel lantai. Dia tak pernah diajak untuk bergabung dalam obrolan.

"Hei, dia masih belum mengundurkan diri juga?" tanya salah satu pertugas kebersihan.

"Aku tidak tahu. Padahal aku malas lihat wajahnya. Dia aneh, bicara saja jarang."

Wanita itu sering menjadi sasaran bullying karyawan lainnya karena dibenci salah satu room supervisor di sini. Dia dikatai lusuh dan jelek. Sejak dulu tak ada yang menemaninya karena miskin.

"Anak pembantu semangat kerjanya, ya?" ucap seorang wanita yang memakai setelan kerja. Niranjana namanya, wanita yang diangkat menjadi room supervisor di sana. "Kerja yang benar, aku bisa mecat kamu kapan saja, ngerti?" omel Niranjana.

Wanita itu hanya mengangguk. Tiba-tiba saja terjadi keributan di sana. "Dia datang!" seru salah satu staf.

"Hei, Shanika! Bawa lap pel dan ember ke belakang!" omel Niranjana.

Shanika lekas membawa alat kerjanya. Mobil Bikasa akhirnya menepi di teras hotel. Pria itu turun dan semua pegawai sudah berdiri membuat barisan untuk menyambutnya. Begitu melihat wajah pria itu, semua orang di sana langsung terpukau.

"Astaga, dia tampan sekali kayak idol korea," bisik salah satu staf.

"Gimana ini? Jantungku berdebar," keluh yang lain.

"Aku mau pingsan."

Bikasa melewati satu per satu karyawan dan memperhatikan pakaian serta penampilan mereka. "Selamat pagi, Pak. Selamat datang di Heltivian," ucap Niranjana.

"Sedang apa kalian di sini? Kenapa tidak fokus pada pekerjaan kalian? Dan apa itu? Buket bunga itu memang indah, tapi interior di belakangnya lebih indah. Singkirkan!" tegas Bikasa.

"Baik, Pak. Saya akan sampaikan pada manager front office," balas Niranjana.

"Perlu berapa tahun untuk memindahkan sebuah vas bunga?" tanya Bikasa dengan nada menyindir.

Pria itu meneruskan langkahnya. Niranjana menghentakkan kaki ke lantai. Dia gagal menarik perhatian Bikasa. Sedang RDM yang baru itu, kini berdiri di samping lift untuk menuju kantornya. Saat itu ada seorang staf berjalan hendak melewati lift sambil membawa ember dan lap pel. Bikasa melirik arah staf wanita itu, tertulis nama Shanika di kemeja kerjanya.

"Mau naik?" tawar Bikasa.

"Tidak, Pak. Permisi," jawab Shanika yang langsung melewati Bikasa sambil menunduk.

"Aw!" pekik Bikasa. Staf wanita itu berbalik. "Bi!" panggil Shanika.

Bikasa tersenyum. Staf wanita itu kembali berbalik dan berlari pergi karena kaget dengan apa yang dia ucapkan. "Kamu ternyata ingat aku, Sha," senyum Bikasa terkembang. Pintu lift terbuka. Bikasa naik ke dalam benda itu. Sedang Shanika mengintip di belokan lorong. Dia mengusap dada.

"Semoga dia gak denger apa yang aku bilang tadi," ucap Shanika dalam hati. "Kenapa juga mulutku tak bisa dijaga?" Dia menunduk kesal akan dirinya sendiri. Berbeda di masa lalu, kini Shanika lahir bukan sebagai seorang putri. Dia menjadi putri pembantu di rumah Niranjana.

Sore itu Shanika bersiap untuk pulang. Dia melirik pada pegawai lain di ruang ganti. "Hei!" tegur salah seorang di antara mereka. "Kapan kamu mau mundurin diri? Bukannya kemarin janji, hari ini gak akan masuk? Kita tuh jijik lihat kamu! Sudah lusuh, bau, norak lagi!" Shanika di dorong ke lemari.

"Ibuku sakit. Dia gak bisa kerja, jadi aku harus cari uang," jawab Shanika.

Saat itu kerah seragam Shanika ditarik. Gadis itu diseret menuju roof top hotel oleh beberapa cleaning service. Mereka merundung atas perintah Niranjana yang sudah lama tak menyukai Shanika. Terlebih orang tua Niranjana sering bersikap baik pada Shanika.

Sampai di roof top, Shanika ditampar hingga jatuh ke lantai. "Kami sudah beri kamu peringatan, kamu gak juga nurut! Sekarang terima saja hukumannya!" tegas salah satu di antara mereka lalu menendang punggung Shanika.

Gadis itu meringis kesakitan. Kali ini rambutnya dijambak kemudian di dorong ke sisi railing rooftop. Hampir saja Shanika terjungkal. Kemudian dia ditampar lagi hingga jatuh. "Berhenti, aku mohon. Aku janji akan pergi," pinta Shanika sambil berlutut. Namun, mereka tak tahu ampun. Kalau mereka tak menyiksa Shanika, Niranjana akan memecat mereka.

Angin meniup rambut Shanika. Kali ini kembali Shanika ditendang dari arah depan. Lengannya menangkis, tetap saja dia tersungkur ke belakang. Salah satu dari mereka mengambil balok kayu yang hendak dipukulkan. Shanika tahu dalam bahaya. Dia menutup mata, "Bikasa," panggilnya tanpa sadar.

Saat itu juga balok kayu ditendang hingga jatuh dari pegangan. Petugas cleaning service itu berpaling ke sisi orang yang menendangnya. "Beraninya kalian menyakiti wanitaku!" sentak Bikasa sambil memelototi mereka semua. "Aku akan ingat wajah kalian semua dan tunggu surat pemecatan dariku. Tatap dia baik-baik, wanita itu milikku. Di manapun kalian, jika berani menyakitinya, aku yang akan menghadapi kalian semua!" tegas Bikasa.

Mereka semua berlutut di depan Bikasa. "Ampun Tuan Alvian. Kami melakukan ini terpaksa karena diperintahkan oleh atasan kami," ungkap mereka.

"Datang ke ruanganku besok!" Bikasa tak ingin menatap wajah mereka. Dia menunduk di depan Shanika. "Kenapa terlambat memanggil namaku?" tanya pria itu.

Shanika menggelengkan kepala. Bikasa tersenyum. Dia gendong Shanika ala pengantin baru dan membawa gadis itu turun. Shanika menunduk, tak berani menatap mata Bikasa.

"Aku tak peduli meski kamu lahir bukan menjadi seorang putri. Tetap saja aku akan jadikan kamu Ratu di rumahku," ucap Pria itu. Shanika tertegun dan mengangkat wajah. Matanya bertatapan dengan Bikasa. Saat itu, kecupan hangat mendarat di kening Shanika..

💐💐💐

💐💐💐

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
BIKASAWhere stories live. Discover now