14. Orang tua

1.3K 507 302
                                    

"Bikasa," panggil seseorang saat Bikasa tengah memantau tugas staf di bagian front office. Bikasa berbalik. Dia melihat Albi, Papanya berjalan mendekat. Bikasa menunduk tanda hormat. Albi seperti biasa ditemani beberapa staf.

"Anda hendak pergi, Pak?" tanya Bikasa dengan panggilan layaknya seorang bawahan. Di kantor dia tidak pernah menyebut kata Papa.

"Aku ada pertemuan di luar. Kamu sedang apa di sini?" tanya Albi melirik ke sekitar.

Bikasa memasukkan sebelah tangan ke saku jas. Sebelah lagi diangkat bersamaan dengan bahu. "Pertama aku ingin melihat buket bunga baru. Kedua, aku ingin melihat kinerja staf yang baru bergabung dan ketiga, karena ada perempuan bernama Niranjana hadir di kantorku."

Terlihat kening Albi berkerut. Sudut pelipisnya tertarik ke sisi atas. "Memang Niranjana melakukan apa?"

"Tidak ada. Hanya saja aku seorang pekerja yang butuh privasi. Itu jam kerja, dia punya tugas dan harusnya dibanding dia mengganggu tugas orang lain, dia kerjakan sendiri tugasnya," jelas Bikasa.

"Aku akan bicara dengannya. Namun, Bikasa. Kamu sudah cukup dewasa untuk mengenal perempuan. Kamu tahu sebuah rumor kedekatanmu dengan Mauvee Saransh? Kamu putra pertamaku dan akan mewarisi hotel ini. Tentu ke depannya kamu akan dipertanyakan tentang keturunan."

Wajah Bikasa sempat terpaku beberapa saat. "Jangan khawatir. Aku punya pacar. Dalam waktu dekat akan aku perkenalkan pada kalian."

"Benarkah?" tanya Albi tak percaya.

"Aku masih normal. Mauvee sama sekali tidak terlihat cantik di mataku. Aku yakin Bapak akan kaget melihat kekasihku yang mirip dengan bidadari."

Albi menepuk bahu putranya beberapa kali. "Kalau ada masalah ceritakan saja. Bisa terlihat di wajahmu," ungkap pria itu lalu meninggalkan Bikasa di sana.

Papanya memang jauh lebih peka dibandingkan Hatala. Justru karena itu Bikasa kadang takut. Keanehan dirinya tak semua orang bisa menerima. Bahkan Mauvee pun saat dibawa ke Jayakreta sempat tak mengangkat telepon selama satu minggu. Untung saja pria itu tak normal hingga bersikap biasa dan meminta dibawa lagi ke sana. Sayang Albi pria yang normal.

Pekerjaan Bikasa selalu menumpuk hingga sore. Dia bertanggung jawab pada dua divisi yaitu front office dan  Housekeeper. Sesuai dengan nama jabatannya. Dia memegang tugas untuk mengatur dan mengelola ruang di hotel ini, baik ruang bagian depan ataupun kamar hotel.

Pukul empat sore, Bikasa baru bisa pulang ke rumah. Mobilnya dengan lancar berjalan di jalanan Kota Bandung. Sempat tertahan macet di depan Gasibu, mobil Bikasa berbelok ke arah jalan Diponegoro.

Kini pria itu tiba di rumah. Dia alihkan sepatu kulit mahal dengan sandal kodoknya. Terasa nyaman sandal itu karena memiliki alas empuk dari busa plastik.

Tak terlihat ada aktivitas di ruang tengah. Bikasa pergi ke kamarnya. Pria itu naik melalui tangga. Dia akan mandi dulu sebelum bertemu dengan Shanika. Salah satu daun pintu kamar dia buka dengan sekali dorong. Namun, Bikasa sudah melihat Shanika duduk di atas sofa sambil memeluk lutut. Setiap melihat gadis itu, Bikasa akan tersenyum. Dia merasa lega Shanikanya masih ada di sini, tidak menghilang dari pandangannya.

"Aku pulang," ucap Bikasa lembut.

Shanika mendongak. Dia melihat Bikasa dengan tatapan takut. Jelas matanya terlihat merah akibat menangis seharian. Bikasa kaget karena itu. Dia simpan tas di atas meja dan duduk berhadapan dengan  Shanika.

"Sha, kamu kenapa? Bisa ceritakan apa yang telah terjadi?"

Shanika menggelengkan kepala. Dia mengadu ujung jemari ke ujung lututnya. "Bi, maafkan aku," ucap Shanika.

BIKASAWhere stories live. Discover now