-|wound|-

1.1K 292 14
                                    

sring!

Dua pedang antara dua Pangeran beradu. Doyoung mempertahankan pedangnya dengan tangannya yang berdarah penuh luka, begitu juga dengan Pangeran See-Lim.

Kaki mereka bertahan, menginjak kuat tanah perang. Tidak memperdulikan kaki mereka yang sudah lemas, hampir tak bisa di gerakan. Mereka mengabaikan semua rasa sakit, mempertahankan wilayah masing-masing.

Kilatan mata mereka yang menajam, meski baretan luka banyak di temukan di wajah mereka. Keduanya sama-sama memberikan tatapan membunuh.

tang! Sring! sring! Sring! duakh!

Doyoung menodong pedangnya ke depan wajah See-lim dengan nafasnya yang memburu. "Menyerah." Desisnya menatap tajam See-lim.

"Teruskan peperangannya." See-lim justru menantang dengan nafasnya yang memburu kencang juga senyuman miringnya. "Buktikan pada Yang Mulia Raja, jika kita bisa menang."

"Kesombongan-mu yang menghancurkan-mu."

"Pangeran janga―!"

Sring!!

Kepala See-lim terpotong sampai menggelinding menuruni tanah puncak tempat ia dan Doyoung bertarung. Kini, pedang Pangeran bungsu Kim habis berlumur darah bekas Putra dari Raja musuh.

Melihat Pangeran mereka mati, para prajurit itu langsung membabi buta, membantai pasukan di bawah kepemimpinan Doyoung. Sedangkan Pangeran Kim itu hanya menatap datar peperangan yang masih berlanjut.

Potongan kepala, setengah tubuh, sampai setengah kepala hingga memperlihatkan otak terus terlihat. Banyak bertebaran di tanah peperangan. Dan semua pasukan Doyoung yang menjadi korban mendominasi.

Ketua prajurit dari kerajaan musuh menatap tajam Pangeran bungsu Kim dengan pedangnya yang di todong. "Ingatlah. Tuhan akan memberikan kami hari dimana kepalamu yang selanjutnya terpotong." Sumpahnya dengan nafas penuh dendam. "Sampai kapanpun, kematian Pangeran See-Lim tidak akan kami toleransi kan. Nyawa di balas oleh nyawa, selanjutnya, kami yang akan memenggal kepalamu."

Doyoung tidak berkutik, tetap menatap ketua prajurit itu datar.

"Bubar!" Teriak ketua prajurit membawa pasukannya pergi setelah semua musuh sudah habis mereka bantai.

Kini, hanya tersisa Doyoung dan ketua prajurit yang masih menghembuskan nafas. Kematian See-Lim membuat keadaan berbalik dengan mudah. Dari yang awalnya pasukan Kim Doyoung yang mendominasi kemenangan, justru sekarang mendominasi kematian.

Kedua tangan Doyoung terkepal meski ekspresinya tetap datar. Telapak tangannya meneteskan darah sebab besi pedang yang ia cengkeram.

"Kematian adalah cara terbaik untuk menyelesaikan peperangan."

brukh!

"Pangeran!" Ketua prajurit buru-buru menghampiri Pangeran yang tumbang. Bisa ia lihat jika tubuh Pangeran sudah penuh luka dalam, wajahnya yang memucat, pernapasannya yang tidak stabil, juga seperti kehilangan energi.

Ketua itu mengangkat tubuh Pangeran. Maniknya sejenak menatap Putra Mahkota sebelum akhirnya menghembuskan nafas. "Sekali lagi, cara yang kau gunakan salah, Pangeran."

***
Hanya dalam satu malam, peperangan berakhir dengan luka mendalam bagi kerajaan Orlankim. Baik rakyat yang menjadi keluarga dari para prajurit yang mati mengenaskan di Medan perang, sampai keluarga kerajaan yang melihat Pangeran mereka kembali pulang dengan luka.

Yujin tidak bisa berkata apapun. Melihat takdirnya pulang dalam keadaan di papah oleh ketua prajurit. Tubuhnya yang penuh luka, dengan jiwa yang tidak sadarkan diri.

"Dia.. baik-baik saja kan pasti?" Yujin bertanya pada Junkyu yang berdiri tak jauh darinya.

Junkyu sebentar melirik Yujin, sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tatapan datar. "Berdo'a-lah dengan para sesepuh. Aku yakin, Tuhan mendengarkan doa takdir Pangeran."

Yujin menganggukan kepala. Dia berbalik badan, hendak keluar dari ruangan. Namun langkahnya terhenti, dia kembali berbalik badan menatap Junkyu yang tetap berdiri di tempatnya.

"Kau.. tidak ikut berdoa?"

"Untuk apa?" Junkyu terkekeh sinis. "Jika dia mati, itu keuntungan untuk-ku."

Yujin mengatup bibir. Matanya dengan jelas melihat kebencian dalam tatapan Junkyu melihat ke arah Doyoung. Tidak ada raut khawatir sejak Doyoung kembali. Harusnya Yujin sadar, dari awal pun, mereka tidak pernah bersapa akrab layaknya saudara.

Yang Mulia Ratu menepuk bahu Yujin membuat gadis itu sedikit tersentak.

"Pergilah berdoa."

Yujin hanya mengangguk. Dia buru-buru berlari keluar dari ruangan, dengan segala spekulasi buruk di pikirannya.

Pangeran sulung Kim dan Yang Mulia Ratu, kenapa mereka?

***
Di aula suci, sudah banyak sesepuh yang berdoa. Yujin menarik nafas dalam, sebelum akhirnya melangkahkan kaki masuk.

"Pangeran kami, lindungi. Pangeran kami, selamatkan. Pangeran kami, kuatkanlah." Suara sesepuh istana terus terulang dalam aula, dengan diiringi 'amin' oleh para sesepuh yang lain.

Yujin ikut berdoa, mengikuti iringan para sesepuh. Dalam matanya yang terpejam, Yujin tiba-tiba menangis tanpa dia sadari.

"Tuan putri,"

Yujin membuka matanya, dia menoleh menatap sesepuh yang berdiri di sebelahnya.

"Maaf, ada apa sesepuh?"

"Soal Pangeran bungsu Kim," sesepuh itu menggantungkan ucapannya dengan matanya yang tertuju pada foto besar Pangeran di depan. Yujin mengikuti arah pandang sesepuh. "Sepertinya Pangeran semakin berjalan di arah yang salah."

Kening Yujin mengernyit tipis. "Maksud sesepuh?"

"Jika di biarkan, jiwa Pangeran bisa terkurung dalam kegelapan atas dorongan opini-nya yang salah." Sesepuh itu menjeda. Kepalanya menoleh menatap Tuan Putri yang juga menatapnya. "Hanya takdirnya yang bisa menggenggam tangan Pangeran, membawa jiwa Pangeran keluar dari gelapnya kurungan tak kasat mata yang Pangeran buat sendiri."

***
Usai berdoa dari malam sampai pagi dini, Yujin akhirnya masuk ke dalam kamarnya. Sejenak, Yujin tertegun begitu melihat Pangeran ada di atas ranjang. Sepertinya tadi.. Pangeran ada di kamar sebelah.

Kaki jenjang Yujin melangkah mendekati ranjang. Hatinya berdegup kencang saking gugupnya berada satu kamar dengan takdirnya.

Gadis Kim itu duduk di sisi ranjang, dekat Pangeran. Maniknya menatap wajah takdirnya yang pulas dalam ketidaksadaran diri. Meskipun rasanya sakit, tapi sedikit rasa lain hadir begitu melihat takdirnya bisa beristirahat meski dalam kondisi tak baik.

Tangan Yujin terulur. Hendak menyentuh kening takdirnya namun dia masih ragu.

"Tidak apa, dia takdirmu. Tidak ada yang salah, Kim Yujin." Batinnya meyakinkan. Kemudian tangannya benar-benar menyentuh rambut di kening takdirnya. Pelan-pelan, tangan Yujin bergerak menjadi usapan lembut. "Beristirahatlah selagi bisa, prince."

Prince(ss)Where stories live. Discover now