-|old story|-

727 177 4
                                    

Pagi sekali, Doyoung sudah berdiri di atas tanah area latihan. Memegang pedangnya di hadapan ketua prajurit, kemudian kakinya bergerak cepat― berlari ke arah lawan dan mengadukan pedang.

Di sebrang, Yujin berdiri dengan dua dayang di belakangnya. Matanya fokus memperhatikan takdirnya yang berlatih sejak fajar. "Ku dengar.. Pangeran akan pergi siang ini?"

"Ya, Tuan Putri."

Yujin menghela nafas. Kakinya bergerak mendekat. "Pangeran." Panggilnya membuat Doyoung berhenti bergerak, begitu juga dengan ketua Prajurit. Yujin berdiri di depan takdirnya kemudian menggenggam tangan takdirnya. "Ayo sarapan dahulu."

Yujin menarik tangan Doyoung, sedangkan Putra Mahkota itu hanya diam. Keduanya masuk kembali ke dalam istana― lewat kebun istana. Yujin tidak bicara sama sekali, begitu juga Doyoung.

Hingga ketika mereka sampai di ruang makan, Yujin mendudukan Doyoung di kursi utama dengan dia yang berdiri di sisi kanannya. Mengambil berbagai makanan di atas meja, menaruhnya ke piring takdirnya.

"Aku ingin makan bersama." Doyoung meminta, mendongak sedikit kepalanya, menatap wajah takdirnya di atas.

Yujin diam, kemudian menggeleng. "Aku sudah makan tadi bersama Ibunda." Jawabnya dengan suara kecil. "Pangeran makan saja, biar ku temani."

Doyoung membuang nafas berat sebelum tangannya menggenggam sendok dan makan. Yujin memperhatikan takdirnya dari belakang, dengan tatapan datar namun di siratkan secara tipis kesedihannya.

Beberapa menit, Doyoung selesai sarapan. Pangeran itu bangkit dari kursinya kemudian berbalik badan, menatap Yujin yang juga menatapnya. "Aku akan pergi ke Negeri sebrang." Ucapnya memberi tau, setelah beberapa sekon diam.

Yujin mengangguk, "Aku tau." Gadis itu menerbitkan senyum tipis, "Pulanglah dalam keadaan sehat. Pastikan yang kau bawa adalah surat perdamaian. Suatu saat, aku akan membantumu," dia tertawa kecil, "Tapi sebelum itu, aku belajar lebih dulu. Supaya bisa mendampingi-mu ke banyak negeri dan menjalin banyak perdamaian bersama."

Doyoung tidak berbicara, suaranya tenggelam di dalam tenggorokannya.

"Ya.. ku tunggu hari itu.."

Yujin terkekeh kecil, takdirnya.. sangat menawan dan lucu di saat bersamaan. Gadis itu melangkahkan kakinya mendekat, kemudian mencium pipi Doyoung. "Selamat jalan." Bisik-nya sebelum pergi melewati tubuh Doyoung, keluar dari ruang makan.

Pangeran itu berbalik badan, menatap pintu yang sudah tertutup kembali. Dia hanya tersenyum tipis, sebelum pergi keluar dari ruang makan.

***

Di gerbang, Yujin berdiri di depan takdirnya. Yang Mulia Ratu juga Pangeran sulung berada di depan gerbang. Cadenza, begitupun para Tetua kerajaan.

"Bukankah harusnya aku yang melakukannya?" Sungut Cadenza, kesal.

Junkyu di sebelahnya, menoleh ke arahnya. "Kau dan dia belum resmi."

"Kalau gitu, ketika resmi, aku yang akan melakukannya."

Junkyu berdecak, "Hanya takdirnya yang bisa melakukannya. Lagipula, sebelum kau resmi, dia sudah mendapatkan surat perdamaian lebih dulu." Jengkel Junkyu malas, mendapat cebikan Cadenza.

Namun tiba-tiba, gadis Lee itu tersenyum miring. "Ku dengar, kau dan Putra Mahkota sedang dalam hubungan tidak baik?" Ujarnya membuat Junkyu menoleh ke arahnya sekilas.

"Bukan sedang, tapi memang." Ralat Junkyu. Matanya menatap adiknya di depan sana kemudian mendesis pelan. Hal itu, membuat Cadenza tersenyum manis.

"Kau.. yang seharusnya ada di sana bukan?" Ucap Cadenza berbisik. "Sayang sekali, Ayahmu lebih memilih Pangeran bungsu. Ya memang, dari cara berperang, Pangeran bungsu memang di depanmu. Dalam ekonomi juga. Serta taktik peperangan, hingga Negeri kita tentram." Puji Cadenza sengaja, membuat kedua tangan Junkyu terkepal.

"Kalau tidak ada aturan menjaga tubuh perempuan, kau sudah ku tampar, Lee Cadenza." Desis Junkyu mematikan, menatap tajam perempuan di sebelahnya yang hanya menunjukan senyuman.

"Kau tidak ada hak menamparku, ketika apa yang aku omongkan adalah kenyataan." Balas Cadenza, tersenyum miring. "Mendiang Raja memang pantas memilih Pangeran bungsu, dari pada kau, Pangeran Jun―"

Bukh!

Doyoung dan Yujin tersentak, menatap ke barisan belakang. Mereka terkejut melihat Junkyu yang pergi sehabis menghajar salah satu prajurit. Kepalan tangan itu terlihat kencang, Junkyu.. pasti sedang marah.

Sementara Doyoung menatap punggung Kakaknya, Yujin menatap Cadenza yang berdiri di barisan belakang. Perempuan itu merundukan kepala, seolah menjaga matanya dari takdirnya. Hati Yujin sedikit sakit, tapi dia tidak bisa apa-apa.

"Kim Yujin."

Gadis itu menoleh ke belakang, menatap takdirnya yang baru saja menyebut namanya. Dia merundukan kepala, "Apa aku tidak akan melakukan kegiatan ini lagi ketika kau akan pergi ke Negeri sebelah untuk menjalin hubungan? Apa selanjutnya Sampai seterusnya, Lee Cadenza yang akan melakukannya?" Racau gadis itu dengan nada sakit, air matanya masih menggenang di matanya.

Doyoung tersenyum. Kedua tangannya mengangkat wajah takdirnya kemudian menggeleng, "Hanya takdir-ku yang bisa melakukannya. Karena hanya ikatan suci juga ikatan Tuhan yang akan membawa berkah perjalanan dan kepulangan." Ucapnya lembut, mengecup sekilas kening takdirnya. "Aku pergi dulu."

Lima kuda itu pergi dari istana. Yujin menatap kepergian Doyoung kemudian menghela nafasnya.

"Tuan Putri."

"Ya, sesepuh?"

Tetua itu mengeluarkan sebuah surat, memberikannya pada Yujin. "Bacalah."

Gadis itu sejenak diam, menatap surat berwarna putih bersih, sebelum membukanya dan mengambil kertas yang terlipat. Satu persatu gulungan di buka, sampai gadis itu mulai membaca bait-bait di kertas.

"Ini.."

"Ya, itu surat dari Pli Aĝa."

***

Di dalam kereta kuda, Yujin menggigit bibirnya sendiri dengan jari bergesekan. Yujin gugup, bertemu dengan Tetua Negeri, membuatnya merasa takut dan gugup.

Selama 19 tahun hidup, Yujin belum pernah bertemu dengan Pli Aĝa.

"Huf.. tenang Yujin. Kamu bisa." Semangatnya pada diri sendiri, dengan eskpresi tetap tertekan. Bagaimana kalau aku terlihat tidak pantas di depan Tetua? Bagaimana kalau aku terlihat tidak cocok dengan Pangeran? Dia menggeleng kepala, menapik fikiran negative. "Kamu pantas dan cocok, Kim Yujin."

Ketika sampai di depan aula suci Pli Aĝa, Yujin turun dari kereta kuda, menapakan kaki di atas karpet merah. Langkahnya bergerak mengikuti jalan, hingga menaiki anak tangga.

Sesampainya di lantai teratas, Yujin membungkukan punggung di depan Tetua yang duduk bersilang kaki di depannya, sedang memejamkan mata.

"Masuk saja." Kata seorang sesepuh di sebelahnya. Yujin menganggukkan kepala, kemudian berjalan pelan dan duduk di depan Tetua.

Mendengar namanya saja, sudah terasa aura kuatnya. Apalagi Yujin yang sudah berada tepat di depannya. Yujin selalu merasa terintimidasi, dan segala spekulasi buruk di benaknya.

"Kim Yujin, takdir Pangeran bungsu Orlankim."

"Iya, Pli Aĝa."

"Kim Yujin, apa anda pernah mendengar segaris kalimat Tuhan, tentang pernikahan?"

Yujin menelan Saliva-nya, kemudian mengangguk. "Pernikahan adalah awal sebuah perjalanan baru."

Tetua mengangguk sekali, kemudian membuka matanya membuat Yujin spontan menahan nafas.

"Komplikasi merupakan alur tengah dari perjalanan cerita yang berakhiran bahagia." Tetua berucap, suaranya mampu membuat Yujin gemetaran meskipun rendah nadanya. "Ingat perjalanan kisah hidup Raja Achiles dan Ratu Antha."

Yujin berkedip, "Saya.." gadis itu tidak melanjutkan ucapannya. Nafasnya tercekat di tenggorokan.

"Jadikanlah kisah hidup mereka, sebagai perjalanan anda dengan Pangeran."

Prince(ss)Where stories live. Discover now